Qias yang benar terhadap kaidah-kaidah
Islam dan nas-nas yang sahih menetapkan tidak bolehnya menyewakan tanah gundul
dengan uang, sebagai berikut:
a) Rasulullah s.a.w. melarang menyewakan
tanah dengan satu bagian tertentu dari hasilnya, misalnya: 24 gantang, 48
gantang, 1 kwintal, atau 2 kwintal yang ditentukan untuk si pemilik
tanah.
Rasulullah s.a.w. tidak membenarkan juga
penyewaan tanah dengan bagian hasil (muzara'ah), melainkan dengan bagian yang
masih relatif misalnya 1/4, 1/3, 1/2 nya. Atau dengan kata lain pembagian secara
prosentase. Hal ini dimaksudkan supaya kedua belah pihak sama-sama mendapat
keuntungan apabila tanah tersebut menghasilkan buah dan tidak diserang hama
suatu apapun; dan juga bersama-sama menerima kerugian apabila tanah tersebut
diserang hama.
Adapun menentukan bagian untuk salah
satunya, supaya dia beroleh keuntungan besar dan di lain pihak hanya mendapat
keringat, kecapaian dan kerugian, tak ubahnya dengan perbuatan riba dan
berjudi.
Kalau kita mau merenungkan masalah
penyewaan tanah dengan uang menurut kacamata ini, maka apakah perbedaannya
dengan penyewaan bagi hasil (muzara'ah) yang dilarangnya?
Sebab pemilik tanah sudah pasti akan
menerima bahagiannya itu berupa uang, sedang pihak penyewa akan mempertaruhkan
tenaga dan kecapaiannya dengan tidak mengetahui apakah akan beruntung atau rugi?
Apakah tanahnya itu dapat menghasilkan atau tidak?
b) Orang yang menyewakan sesuatu adalah
tetap memilikinya sampai seterusnya. Oleh karena itu dia berhak mendapat upah
atas persediaan yang diberikan kepada pihak penyewa dan persiapan guna
dimanfaatkan oleh penyewa. Upah mana sebagai ganti atas penyusutan yang dialami
oleh barangnya itu sedikit demi sedikit.
Sekarang manakah persediaan yang harus
diberikan oleh si pemilik tanah untuk dipersiapkan buat pihak penyewa? Padahal
Allah menyediakan tanah untuk kita semua untuk ditanami, bukan untuk dimiliki.
Sekarang manakah penyusutan yang dialami oleh tanah karena ditanami, sedang
tanah tidak termakan dan tidak tergerak karena ditanami, seperti halnya bangunan
dan alat?!
c) Seseorang yang menyewa rumah, secara
langsung dapat memanfaatkan rumah itu dengan ditempati, misalnya, tanpa ada yang
menghalangi sedikitpun. Begitu juga orang yang menyewa alat. Adapun penyewa
tanah tidak dapat memanfaatkannya secara langsung. Ketika dia menyewa tidak
sekaligus dapat memanfaatkannya seperti halnya menyewa rumah, bahkan dia harus
berusaha dan mencurahkan fikiran guna memanfaatkannya, yang kadang-kadang
berhasil dan kadang-kadang tidak. Oleh karena itu setiap qias (analogi) untuk
menyamakan persewaan tanah dengan rumah, adalah suatu qias yang tidak
benar.
d) Dalam hadis Bukhari diterangkan,
bahwa Rasulullah s.a.w. melarang menjual buah-buahan yang masih dalam kebun
(baca: pohonnya) sebelum nampak jelas baiknya, padahal waktu itu sudah diketahui
selamat dari hama. Kemudian Rasulullah s.a.w. dalam memberikan alasan
larangannya itu sebagai berikut:
"Apakah kamu akan beranggapan, bahwa jika Allah melarang buah-buahan, kemudian salah seorang di antara kamu itu halal mengambil harta saudaranya?" (Riwayat Bukhari)
Kalau demikian halnya tentang orang yang
menjual buah-buahan yang sudah nampak baiknya tetapi belum dapat diyakinkan
keselamatannya, yang kadang-kadang diserang oleh hama yang menghalang
kesempurnaan masaknya buah-buahan tersebut, maka bagaimana halnya orang yang
menyerahkan sebidang tanah gundul yang tidak dapat dipukul dengan kayak dan
tidak patut ditaburi benih. Apakah kepada orang semacam ini tidak sepatutnya
kita ajukan suatu pertanyaan: Apakah kamu akan beranggapan, jika Allah melarang
tentang buah-buahan, berarti kamu halal mengambil harta
saudaramu?!
Saya pernah menyaksikan dengan
mata-kepala sendiri, ada beberapa kebun kapas yang dimakan ulat, sehingga
tinggal pohonnya dalam keadaan kering tidak lagi menghasilkan apa-apa, sedang si
pemilik tanah tetap menuntut sewa, dan si penyewa tidak ada jalan lain hanya
menyerah bulat di bawah kekejaman belenggu yang melilit. Maka di manakah
letaknya tolong-menolong (ta'awun)? Dan di mana letaknya keadilan yang selalu
dicanangkan oleh Islam?
Keadilan tidak akan terwujud, kecuali
dengan muzara'ah (penyewaan bagi hasil menurut prosentase) di mana keuntungan
dan kerugian akan dipikul bersama oleh kedua belah pihak.
Sekalipun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
membolehkan menyewakan tanah, tetapi beliau sendiri menyebutkan, bahwa muzara'ah
adalah lebih sesuai dengan keadilan dan prinsip syariah Islamiah. Beliau
berkata: "Muzara'ah lebih halal daripada kira', dan lebih mendekati kepada
keadilan dan pokok ajaran Agama Islam. Sebab dalam Muzara'ah itu kedua belah
pihak bersekutu dalam keuntungan dan kerugian, Berbeda dengan kira', maka
pemilik tanah sudah pasti menerima keuntungan, sedang pihak penyewa
kadang-kadang dapat dan kadang-kadang tidak dapat."
Al-Muhaqqiq Ibnul Qayim dalam
komentarnya terhadap kezaliman yang dilakukan oleh para penguasa dan militer
terhadap kaum petani di masa itu, ia mengatakan: "Kalau militer dan penguasa mau
mendukung kaum petani menurut syariat yang telah ditentukan Allah dan RasulNya
serta perbuatan para Khulafaur Rasyidin, niscaya mereka akan memperoleh rezeki
dari atas dan dari bawah, dan niscaya Allah akan membukakan pintu-pintu
barakahNya dari langit dan bumi. Namun penghasilan yang berlipat sekarang ini
mereka dapat dengan kezaliman dan permusuhan.
Tetapi kebodohan dan kekejaman mereka
itu tetap membantahnya, sehingga mereka hanya berbuat kezaliman dan dosa. Mereka
tidak mau menerima barakah dan keluasan rezeki. Oleh karena itu kelak di akhirat
mereka akan mendapat siksa dan dicabutnya barakah itu di dunia
ini."
Kalau ditanyakan: "Bagaimanakah syariat
yang telah ditentukan Allah dan Rasul serta perbuatan para khalifah, sehingga
orang dapat menirunya dan memperoleh taufik dari Allah?"
Jawabnya: Penyewaan dengan bagi hasil
(mazara'ah) dengan adil, itulah yang harus lama-lama dilakukan oleh pemilik
tanah dan petani. Tidak ada keistimewaan untuk satu pihak terhadap pihak lain
dari ketentuan ini, menurut hukum Allah. Mengistimewakan seseorang terhadap
orang lain inilah yang menyebabkan hancurnya negara, rusaknya masyarakat,
terhalangnya hujan, hilangnya barakah dan menyebabkan para militer dan pembesar
berani makan barang haram. Padahal kalau sesuatu tubuh tumbuh dari barang haram,
maka nerakalah tempatnya.
Muzara'ah yang adil adalah cara yang
dilakukan oleh kaum muslimin di zaman Rasulullah. s.a.w., para Khulafaur
Rasyidin, keluarga Abubakar, keluarga Umar, keluarga Usman, keluarga Ali dan
kaum muhajirin. Dan ini pulalah yang menjadi pendirian kebanyakan para sahabat,
seperti: Ibnu Mas'ud, Ubai bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit dan lain-lain lagi. Dan
ini pula yang menjadi pendirian ulama ahli hadis, seperti: Imam Ahmad, Ishak bin
Rahawih, Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Daud bin Ali, Muhammad bin Ishak bin
Khuzaimah, Abubakar bin al-Mundzir, Muhammad bin Nasr al-Maruzi. Dan ini juga
yang menjadi pendirian kebanyakan ulama Islam seperti: Al-Laits bin Sa'ad, Ibnu
Abi Laila, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan dan lain-lainnya.
Rasulullah s.a.w. sendiri telah
melakukan hal tersebut dengan penduduk Khaibar, yaitu dengan separuh dari hasil
tanah. Begitulah sampai beliau meninggal dunia.
Mu'amalah seperti ini terus berlangsung
sampai penduduk Khaibar itu dikeluarkan oleh Khalifah Umar dari Khaibar. Nabi
memberi persyaratan kepada mereka dengan biaya dan bibit dari mereka, bukan dari
Nabi.
Oleh karena itu pendapat yang paling
benar, ialah bahwa bibit boleh dari pihak penyewa, sebagaimana nas hadis, dan
boleh juga dari kedua belah pihak.
Al-Bukhari menyebutkan dalam kitab
Sahihnya, bahwa Umar Ibnul-Khattab menyewakan tanah dengan perjanjian bibit dari
Umar dan dia akan mendapat lebih dari separuh. Kalau bibit dari mereka, maka
mereka dapat lebih dari separuh juga.
Seluruh riwayat yang menerangkan tentang
muzara'ah, sedikitpun tidak dikenal, bahwa bagian penyewa tanah kurang dari
separuh, bahkan kadang-kadang lebih dari separuh.
Memang yang cukup dapat menyenangkan
hati, ialah bagian penyewa tidak kurang dari separuh, sebagaimana yang dilakukan
oleh Rasulullah s.a.w. dan para khalifahnya bersama orang-orang Yahudi
Khaibar.
Tidak layak kalau bagian pemilik tanah
lebih tinggi daripada bagian penyewa.
Halal & Haram Dalam Islam
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Kunjungi juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar