Di antara tradisi yang diberantas oleh
Islam, yaitu tradisi jahiliah yang berkenaan dengan masalah kematian, misalnya:
meratap, teriak-teriak dan berlebih-lebihan dalam melahirkan kesusahan dan
kedukaan.
Islam mengajar ummatnya, bahwa mati
hanyalah sekedar pindah dari satu tempat ke tempat lain, bukan musnah
samasekali, tidak pula hilang begitu saja. Sedang duka tidak dapat menghidupkan
orang yang sudah mati dan tidak dapat menolak takdir Allah. Oleh karena itu
setiap mu'min harus menerima kematian ini sebagaimana halnya menerima musibah,
yaitu harus sabar dengan mencari keridhaan Allah serta mengambil suatu pelajaran
dengan mengharapkan pertemuan abadi di akhirat, sambil mengulang-ulang kalimat
inna lillahi wainna ilaihi raji'un (sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan
kepadaNyalah kami akan kembali).
Adapun apa yang diperbuat oleh
orang-orang jahiliah, adalah mungkar dan haram yang tidak diakui oleh Rasulullah
s.a.w, sebagaimana sabdanya:
"Tidak termasuk golongan kami orang yang menampar pipi dan merobek-robek pakaian dan menyeru dengan seruan jahiliah." (Riwayat Bukhari)
Tidak halal seorang muslim memakai tanda
khusus untuk berkabung atau tidak berhias atau mengganti pakaian dan gerak yang
sudah biasa, demi menampakkan perasaan duka dan sedih. Kecuali isteri karena
ditinggal mati oleh suaminya, dia harus melakukan berkabung selama empat bulan
sepuluh hari, guna memenuhi hak suami dan demi ikatan suci yang telah
menghubungkan antara keduanya. Sehingga dia tidak menampakkan perhiasan dan
tidak menjadi sasaran mata orang-orang yang hendak meminangnya selama dalam
iddah itu. Yang oleh Islam dianggap sebagai melanjutkan beberapa hak suami dalam
perkawinannya yang telah terdahulu dan sebagai anyaman atas perkawinan yang
lalu.
Tetapi kalau yang mati itu kebetulan
bukan suami, misalnya ayah, anak atau saudara, maka tidak halal seorang
perempuan berkabung lebih dari tiga hari.
Zainab binti Abu Salamah meriwayatkan
dari Ummu Habibah isteri Nabi s.a.w. ketika ayahnya, Abu Sufyan meninggal dunia.
Dia juga meriwayatkan dari Zainab binti Jahsy ketika saudaranya yang laki-laki
meninggal dunia. Kedua isteri Nabi ini tidak memakai uangi-uangian, kemudian ia
berkata: "Demi Allah, saya tidak lagi memerlukan uangi-uangian, namun saya
mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Tidak halal seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkabung karena kematian, lebih dari tiga malam, kecuali atas kematian suami, maka harus berkabung empat bulan sepuluh hari." (Riwayat Bukhari)
Berkabungnya isteri karena meninggalnya
suami adalah wajib yang samasekali tidak boleh diabaikannya, sebab ada satu
riwayat sebagai berikut:
"Telah datang seorang perempuan kepada Nabi s.a.w. kemudian ia berkata: sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya dan matanya menjadi bengkak (karena menangis), apakah boleh saya suruh dia memakai celak? Maka jawab Rasulullah: Tidak! Dua kali atau tiga kali, tiap kali ditanya selalu menjawab tidak." (Riwayat Bukhari dari Ummu Habibah)
Ini menunjukkan, haramnya berhias dalam
waktu yang telah ditentukan.
Adapun susah tanpa melewati batas dan
menangis tanpa teriak-teriak, termasuk masalah fitrah (pembawaan). Oleh karena
itu tidaklah berdosa.
Diriwayatkan, bahwa Umar Ibnul-khattab
pernah mendengar sementara perempuan menangis karena kematian Khalid bin
al-Walid, kemudian ada sementara orang laki-laki yang hendak melarangnya, maka
kepada si laki-laki tersebut, Umar berkata: "Biarkanlah dia menangis karena
kematian Abu Sulaiman ini (Khalid bin Walid), selama tangisnya itu tidak
menabur-naburkan debu di atas kepalanya dan tidak
teriak-teriak."
Halal & Haram Dalam Islam
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Kunjungi juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar