Ini ada hubungannya dengan masalah
menundukkan pandangan yang oleh dua ayat di surah an-Nur 30-31, Allah
perintahkan kepada laki-laki dan perempuan.
Adapun yang khusus buat orang perempuan
dalam ayat kedua (ayat 31) yaitu:
a)
Firman Allah:
"Janganlah orang-orang perempuan menampakkan perhiasannya, melainkan apa yang biasa tampak daripadanya."
Yang dimaksud perhiasan perempuan, yaitu
apa saja yang dipakai berhias dan untuk mempercantik tubuh, baik berbentuk
ciptaan asli seperti wajah, rambut dan potongan tubuh, ataupun buatan seperti
pakaian, perhiasan, make-up dan sebagainya.
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan
kepada orang-orang perempuan supaya menyembunyikan perhiasan tersebut dan
melarang untuk dinampak-nampakkan. Allah tidak memberikan pengecualian,
melainkan apa yang bisa tampak. Oleh karena itu para ulama kemudian berbeda
pendapat tentang arti apa yang biasa tampak itu dan ukurannya. Apakah artinya:
apa yang tampak karena terpaksa tanpa disengaja, misalnya terbuka karena ditiup
angin; ataukah apa yang biasa tampak dan memang dia itu asalnya
tampak?
Kebanyakan ulama salaf berpendapat
menurut arti kedua, Misalnya Ibnu Abbas, ia berkata dalam menafsirkan apa yang
tampak itu ialah: celak dan cincin.
Yang berpendapat seperti ini ialah
sahabat Anas. Sedang bolehnya dilihat celak dan cincin, berarti boleh dilihatnya
kedua tempatnya, yaitu muka dan kedua tapak tangan. Demikianlah apa yang
ditegaskan oleh Said bin Jubair, 'Atha', Auza'i dan lain-lain.
Sedang Aisyah, Qatadah dan lain-lain
menisbatkan dua gelang termasuk perhiasan yang boleh dilihat. Dengan demikian,
maka sebagian lengan ada yang dikecualikan. Tetapi tentang batasnya dari
pergelangan sampai siku, masih diperselisihkan.
Di samping satu kelonggaran ini, ada
juga yang mempersempit, misalnya: Abdullah bin Mas'ud dan Nakha'i. Kedua beliau
ini menafsirkan perhiasan yang boleh tampak, yaitu selendang dan pakaian yang
biasa tampak, yang tidak mungkin disembunyikan.
Tetapi pendapat yang kami anggap lebih
kuat (rajih), yaitu dibatasinya pengertian apa yang tampak itu pada wajah dan
dua tapak tangan serta perhiasan yang biasa tampak dengan tidak ada maksud
kesombongan dan berlebih-lebihan, seperti celak di mata dan cincin pada tangan.
Begitulah seperti apa yang ditegaskan oleh sekelompok sahabat dan
tabi'in.
Ini tidak sama dengan make-up dan
cat-cat yang biasa dipakai oleh perempuan-perempuan zaman sekarang untuk
mengecat pipi dan bibir serta kuku. Make-up ini semua termasuk berlebih-lebihan
yang sangat tidak baik, yang tidak boleh dipakai kecuali di dalam rumah. Sebab
perempuan-perempuan sekarang memakai itu semua di luar rumah, adalah untuk
menarik perhatian laki-laki. Jadi jelas hukumnya adalah haram.
Sedang penafsiran apa yang tampak dengan
pakaian dan selendang yang biasa di luar, tidak dapat diterima. Sebab itu
termasuk hal yang lumrah (tabi'i) yang tidak bisa dibayangkan untuk dilarangnya
sehingga perlu dikecualikan. Termasuk juga terbukanya perhiasan karena angin dan
sebagainya yang boleh dianggap darurat. Sebab dalam keadaan darurat, bukan suatu
yang dibuat-buat. Jadi baik dikecualikan ataupun tidak, sama saja. Sedang yang
cepat diterima akal apa yang dimaksud istimewa (pengecualian) adalah suatu
rukhsah (keringanan) dan justru untuk mengentengkan kepada perempuan dalam
menampakkan sesuatu yang mungkin disembunyikan; dan ma'qul sekali (bisa diterima
akal) kalau dia itu adalah muka dan dua tapak tangan.
Adanya kelonggaran pada muka dan dua
taak tangan, adalah justru menutupi kedua anggota badan tersebut termasuk suatu
hal yang cukup memberatkan perempuan, lebih-lebih kalau mereka perlu bepergian
atau keluar yang sangat menghajatkan, misalnya dia orang yang tidak mampu. Dia
perlu usaha untuk mencari nafkah buat anak anaknya, atau dia harus membantu
suaminya. Mengharuskan perempuan supaya memakai cadar dan menutup kedua
tangannya adalah termasuk menyakitkan dan menyusahkan
perempuan.
Imam Qurthubi berkata: "Kalau menurut
ghalibnya muka dan dua tapak tangan itu dinampakkan, baik menurut adat ataupun
dalam ibadat, seperti waktu sembahyang dan haji, maka layak kiranya kalau
pengecualian itu kembalinya kepada kedua anggota tersebut. Dalil yang kuat untuk
pentafsiran ini ialah hadis riwayat Abu Daud dari jalan Aisyah r.a., bahwa Asma'
binti Abubakar pernah masuk ke rumah Nabi s.a.w. dengan berpakaian tipis,
kemudian Nabi memalingkan mukanya sambil ia berkata: "Hai Asma'! Sesungguhnya
perempuan apabila sudah datang waktu haidhnya (sudah baligh) tidak patut
dinampakkan badannya, kecuali ini dan ini -- sambil ia menunjuk muka dan dua
tapak tangannya."
Sedang firman Allah yang mengatakan:
"Katakanlah kepada orang-orang mu'min laki-laki supaya menundukkan pandangan"
itu memberikan suatu isyarat, bahwa muka perempuan itu tidak tertutup.
Seandainya seluruh tubuh perempuan itu tertutup termasuk mukanya, niscaya tidak
ada perintah menundukkan sebagian pandangan, sebab di situ tidak ada yang perlu
dilihat sehingga memerlukan menundukkan pandangan.
Namun, kiranya sesempurna mungkin
seorang muslimah harus bersungguh-sungguh untuk menyembunyikan perhiasannya,
termasuk wajahnya itu sendiri kalau mungkin, demi menjaga meluasnya kerusakan
dan banyaknya kefasikan di zaman kita sekarang ini. Lebih-lebih kalau perempuan
tersebut mempunyai paras yang cantik yang sangat dikawatirkan akan menimbulkan
fitnah.
b)
Firman Allah:
"Hendaknya mereka itu melabuhkan kudungnya sampai ke dadanya." (an-Nur: 31)
Pengertian khumur (kudung), yaitu semua
alat yang dapat dipakai untuk menutup kepala. Sedang apa yang disebut juyub kata
jama' (bentuk plural) dari kata jaibun, yaitu belahan dada yang terbuka, tidak
tertutup oleh pakaian/baju.
Setiap perempuan muslimah harus menutup
kepalanya dengan kudung dan menutup belahan dadanya itu dengan apapun yang
memungkinkan, termasuk juga lehernya, sehingga sedikitpun tempat-tempat yang
membawa fitnah ini tidak terbuka yang memungkinkan dilihat oleh orang-orang yang
suka beraksi dan iseng.
c)
Firman Allah:
"Dan hendaknya mereka itu tidak menampak-nampakkan perhiasannya terhadap suami atau ayahnya." (an-Nur: 31)
Pengarahan ini tertuju kepada
perempuan-perempuan mu'minah, dimana mereka dilarang keras membuka atau
menampakkan perhiasannya yang seharusnya disembunyikan, misalnya: perhiasan
telinga (anting-anting), perhiasan rambut (tusuk); perhiasan leher (kalung),
perhiasan dada (belahan dadanya) dan perhiasan kaki (betis dan gelang kaki).
Semuanya ini tidak boleh dinampakkan kepada laki-laki lain. Mereka hanya boleh
melihat muka dan kedua tapak tangan yang memang ada rukhsah untuk
dinampakkan.
Larangan ini dikecualikan untuk 12 orang:
1. Suami. Yakni si suami boleh melihat
isterinya apapun ia suka. Ini ditegaskan juga oleh hadis Nabi yang
mengatakan:
"Peliharalah auratmu, kecuali terhadap isterimu."
2. Ayah. Termasuk juga datuk, baik dari
pihak ayah ataupun ibu.
3. Ayah mertua. Karena mereka ini sudah
dianggap sebagai ayah sendiri dalam hubungannya dengan isteri.
4. Anak-anak laki-lakinya. Termasuk juga
cucu, baik dari anak laki-laki ataupun dari anak perempuan.
5. Anak-anaknya suami. Karena ada suatu
keharusan untuk bergaul dengan mereka itu, ditambah lagi, bahwa si isteri waktu
itu sudah menduduki sebagai ibu bagi anak-anak tersebut.4
6. Saudara laki-laki, baik sekandung,
sebapa atau seibu.
7. Keponakan. Karena mereka ini
selamanya tidak boleh dikawin.
8. Sesama perempuan, baik yang ada
kaitannya dengan nasab ataupun orang lain yang seagama. Sebab perempuan kafir
tidak boleh melihat perhiasan perempuan muslimah, kecuali perhiasan yang boleh
dilihat oleh laki-laki. Demikianlah menurut pendapat yang
rajih.
9. Hamba sahaya. Sebab mereka ini oleh
Islam dianggap sebagai anggota keluarga. Tetapi sebagian ulama ada yang
berpendapat: Khusus buat hamba perempuan (amah), bukan hamba
laki-laki.
10. Keponakan dari saudara perempuan.
Karena mereka ini haram dikawin untuk selamanya.
11. Bujang/orang-orang yang ikut serumah
yang tidak ada rasa bersyahwat. Mereka ini ialah buruh atau orang-orang yang
ikut perempuan tersebut yang sudah tidak bersyahwat lagi karena masalah kondisi
badan ataupun rasio. Jadi yang terpenting di sini ialah: adanya dua sifat, yaitu
mengikut dan tidak bersyahwat.
12. Anak-anak kecil yang tidak mungkin
bersyahwat ketika melihat aurat perempuan. Mereka ini ialah anak-anak yang masih
belum merasa bersyahwat. Kalau kita perhatikan dari kalimat ini, anak-anak yang
sudah bergelora syahwatnya, maka orang perempuan tidak boleh menampakkan
perhiasannya kepada mereka, sekalipun anak-anak tersebut masih belum
baligh.
Dalam ayat ini tidak disebut-sebut
masalah paman, baik dari pihak ayah ('aam) atau dari pihak ibu (khal), karena
mereka ini sekedudukan dengan ayah, seperti yang diterangkan dalam hadis
Nabi:
"Pamannya seseorang adalah seperti
ayahnya sendiri." (Riwayat Muslim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar