Jumat, 04 September 2015

Sanggahan terhadap pendapat Harun Nasution

Benarkah  pendapat atau kilah Harun Nasution yang  dikenal  tidak memasukkan qodho' dan qodar ke dalam rukun iman, dan yang  dalam hal  ini tampak memperkuat barisan shufi, baik  secara  pemikiran maupun praktek itu?

Kita simak syarah atau penjelasan Hadits Qudsi yang dia  jadi­kan  kilah itu, sebenarnya apakah ada kaitannya dengan  tasawwuf, mari kita simak  sebagai berikut: 

Al-walayah dengan difathah wawunya artinya  adalah almahabbah, kecintaan, dan lawannya adalah al'adawah, permusuhan. Sedang "wali" adalah lawan kata dari "musuh", dan wali-wali  Allah  itu adalah  orang-orang  yang  beriman lagi bertaqwa. Allah Ta'ala berfirman:

"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada  kekha­watiran  terhadap mereka dan tidak (pula) mereka  bersedih  hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa." (QS Yunus/ 10:62-63).

Maka setiap orang mukmin yang bertaqwa dialah wali Allah sesuai dengan keimanan dan ketaqwaannya. Sedang  orang yang  kafir  maka dialah musuh Allah. Lantas  orang  mukmin  yang bermaksiat  maka  berkumpul pada dirinya dua perkara  --dia  wali Allah  sesuai dengan iman yang ada dalam dirinya, dan  dia  musuh Allah  sesuai  dengan maksiat yang ada dalam  dirinya.  Wali  itu bukan  orang  yang maksum (terjaga) dari kesalahan  seperti  yang dikira/diklaim oleh sebagian orang fanatik terhadap orang  yang mereka  namakan auliya'. Dan auliya' (para wali)  tidak  memiliki kemampuan mengatur alam, tidak mampu menarik manfaat dan  menolak bahaya dan menyembuhkan penyakit, dan  menghilangkan  keruwetan, seperti yang disangka oleh banyak orang ahli khurofat yang  meng­gantungkan  diri pada auliya' dan menyembah mereka selain  Allah, dan  meminta tolong pada mereka dalam musibah-musibah berat,  dan meminta pada mereka untuk mencukupi kebutuhan, dan  menghilangkan keruwetan,  juga  meminta berkah  dengan  mengusap  bagian-bagian badan mereka, tanah-tanah mereka, dan kuburan-kuburan mereka, dan bernadzar  untuk  mereka, dan menyembelih  kurban  untuk  mereka, seperti yang dulu telah dilakukan orang-orang musyrik  jahiliyah.

 Seperti firman Allah Ta'ala tentang mereka:
"Dan mereka menyembah selain dari Allah apa  yang  tidak  dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula)  kemanf­aatan,  dan  mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah." (QS Yunus/ 10:18).

Dan Allah Ta'ala berfirman:"Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka  mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." (QS Az-Zumar/  39:3).
 Dan ayat-ayat lainnya. 

Tidaklah   setiap  yang diklaim sebagai wali  itu  jadi  wali. Sesungguhnya  wali itu tidak lain hanya orang yang  beriman  lagi bertaqwa, sedangkan wali itu orang yang butuh dan berhajat kepada Tuhannya, dia tidak mampu memberikan mudharat dan manfaat  kepada dirinya  ataupun  kepada orang lain. Wali-wali  Allah  itu  wajib dicintai  dan  dihormati tanpa ghuluw (berlebih-lebihan) dalam menghormati mereka  dan tidak berlebihan dalam  mendudukkan  hak mereka dengan meminta sesuatu kepada mereka yang sebenarnya tidak boleh  diminta  kecuali  kepada Allah.  

Diharamkan memusuhi mereka (wali-wali), mengurangi hak  mereka, dan menyakiti mereka. Allah telah mengancam orang yang  mengerja­kan hal itu dengan firmanNya dalam hadits: "Barangsiapa  memusuhi wali-Ku maka sungguh Aku telah umumkan perang dengannya" artinya sungguh  telah  aku  beritahukan bahwa aku memusuhi orang yang memusuhiKu  dengan  (lantaran) memusuhi wali-waliKu.  Ini  sesuai dengan  tingkatan pertama atas orang yang memusuhi  para sahabat Radhiyallahu 'anhum dan orang-orang yang memarahi para sahabat di antaranya orang-orang Syi'ah dan ahli bid'ah. Nabi Saw  bersabda: "Janganlah kalian  mencaci shabat-sahabtku. Karena,  demi  Allah yang  diriku ada di tanganNya, seandainya seseorang kamu  mengin­faqkan emas seberat Gunung Uhud maka tidak sampai sepanjang salah satu mereka dan tidak separuhnya."
Nabi Saw juga bersabda: Allah, Allah, mengenai sahabt-sahabat­ku.  Janganlah kalian menjadikan mereka sebagai  sasaran,  karena barangsiapa  menyakiti mereka maka sungguh ia telah  menyakitiku, dan  barangsiapa  menyakitiku  maka sungguh ia  telah  menyakiti Allah,  dan  barangsiapa menyakiti Allah maka hampir  saja Allah menimpakan  adzab  padanya." (dikeluarkan  oleh  At-Tirmidzi  dan lainnya.)

Ibnu  Daqiq rahimahullah berkata: "Wali Allah  Ta'ala  adalah yang mengikuti apa yang disyari'atkan Allah. Maka berhati-hatilah manusia  dari  menyakiti hati-wali Allah 'Azza  wa  Jalla."  Arti memusuhi  itu kalau menjadikannya musuh, dan saya tidak  melihat arti  selain  memusuhinya  lantaran dia itu  wali  Allah.  Adapun apabila  keadaan  memang menuntut  adanya  perselisihan  pendapat antara dua wali Allah secara kehakiman ataupun pertengkaran  maka dikembalikan  kepada upaya mengeluarkan hak  yang  samar  (untuk menentukan  kebenaran), karena hal (pertentangan antar  dua  wali Allah)  itu tidak termasuk dalam hadits ini. Karena sesungguhnya telah berlangsung pertengkaran antara Abu Bakar dan Umar radhiyallahu  'anhuma, dan antara Abbas dan Ali ra, antar banyak  sahabat, sedangkan mereka semua itu adalah wali-wali Allah 'Azza  wa Jalla.  (Dr shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-fauzan, Ad-Dhiyaa' al-Laami' minal Ahaadiits al-Qudsiyyah al-Jawaami', 1990, hal 18-21).

Kemudian  Allah  SWT menjelaskan sebab-sebab  yang  menjadikan orang memperoleh  kewalian Allah Ta'ala, dan hamba  itu  menjadi wali  Allah  --artinya dicintai dan haram  dimusuhi,  maka  Allah berfirman: Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba-Ku  kepada-Ku yang lebih Aku sukai daripada pengamalan segala yang  Kufardhukan atasnya, dan hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri  kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal sunnah, maka Aku senantiasa mencin­tainya." Maka Allah menjelaskan bahwa sebab kewalian itu  adalah mendekatkan diri kepadaNya SWT dengan mentaatiNya. Dan  wali-wali Allah  itu adalah mereka yang mengerjakan perbuatan dengan  ta'at yang mendekatkan diri kepada-Nya dan meninggalkan maksiat  terha­dap-Nya. Ini membatalkan dakwaan-dakwaan yang mengklaim  kewalian bagi manusia-manusia yang menyelisihi syari'at Allah dan  berbuat bid'ah, khurafat, dan syirik.

Mereka  itu  justru musuh-musuh Allah yang  sebenarnya,  bukan wali-wali-Nya.
Wali-walinya  tidak  lain hanya orang-orang  yang  taqwa."  (Al-Anfaal/  8:34).  Sedangkan  mereka itu  musuh-musuh  Allah  yang menjauhkan diri dariNya dengan perbuatan-perbuatan yang  mengaki­batkan  mereka terusir dan terjauhkan. Dan kalau  mereka  mengaku wali  atau diklaim sebagai wali Allah pasti mereka membuat  lahan mata  pencaharian yang mengacaukan manusia dengan klaim kewalian itu, dan mereka mengeruk duit orang-orang awam. Julukan wali atau auliya'  telah  menjadi sumber menangguk rezeki  pada  masa  kini dengan membangun kuburan-kuburan dan membuka  kotak-kotak  amal/nadzar, lalu di sekelilingnya dijaga oleh karyawan-karyawan  yang mengawasi lahan-lahan pencarian itu dengan bayaran dari uang yang jalannya tidak benar.

Sesungguhnya auliya'ullah wahai orang-orang ahli khurafat, tidak pernah mereka mendakwakan diri mereka sebagai auliya', dan juga orang-orang Muslim tidak mendakwakan kewalian terhadap orang tertentu kecuali ada kesaksian Rasul Saw padanya tentang kewalian itu.  Tetapi orang Muslim mengharapkan kepada mukmin lain suatu kebaikan,  dan khawatir terhadap orang jahat mengenai kejahatannya, dan mereka mencintai orang-orang baik, dan membenci orang-orang jahat.

Mengenai  firman Allah Ta'ala: Tidak ada sesuatu yang  mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku yang lebih Aku sukai daripada  pengamalan  segala yang Kufardhukan atasnya, adalah dalil atas wajibnya memperhatikan  kewajiban-kewajiban  dan melaksanakannya sebelum hal-hal yang sunnat. Karena yang sunnat itu tidak diterima kecuali dengan syarat pelaksanaan yang wajib. Dan mengenai firmaNya: dan  hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri  kepada-Ku  dengan melaksanakan amal-amal sunnah, maka Aku senantiasa mencintainya." Itu menunjukkan atas keutamaan amal sunnat dan  memperbanyaknya, karena  akan menyebabkan  kecintaan  Allah  terhadap  pelakunya. Makanya yang wajib-wajib itu akan menjadi sempurna karena  dilak­sanakannya  yang  sunnat  itu apabila ada kekurangan  pada  yang wajib.

Firman Allah Ta'ala: "Bila Aku telah cinta kepadanya, jadilah Aku pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Aku pengliha­tannya yang dengannya ia melihat, aku tangannya yang dengannya ia memukul,  dan  Aku kakinya yang dengan itu ia berjalan.  Bila  ia memohon kepada-Ku, Aku perkenankan permohonannya, jika ia meminta perlindungan,  ia Kulindungi." Itu artinya bahwa Allah  membenarkannya, menjaganya  mengenai  pendengarannya,   penglihatannya, tangannya, dan kakinya, maka ia tidak menggunakan anggota-anggota badannya ini untuk bermaksiat, dan ia hanya menggunakannya  dalam ketaatan pada Allah Azza wa Jalla.
Ibnu Daqiq  Al-Ied berkata: "Arti firman Allah itu  bahwa  ia (yang  dicintai  Allah ini) tidak mendengarkan  apa  yang  tidak diizinkan  Allah  baginya untuk mendengarnya, dan  tidak  melihat sesuatu  yang tidak diizinkan Allah untuk melihatnya,  dan  tidak mengulurkan  tangannya kepada sesuatu yang tidak diizinkan  Allah untuk  menjangkaunya, dan tidak berjalan kecuali kepada hal  yang diizinkan Allah baginya untuk menuju padanya..." selesailah arti­nya  itu, dan tafsiran itu ditunjukkan pula oleh  firmaNya  dalam akhir  hadits  Qudsi  tersebut: Bila ia  memohon  kepada-Ku, Aku perkenankan  permohonannya,  jika  ia meminta  perlindungan,  ia Kulindungi."  Artinya, Allah Ta'ala menyertainya dengan menyetujuinya,  menolongnya, dan menjaga anggota-anggota  badannya dari segala larangan, karena balasan itu adalah setimpal dengan perbu­atan.

Dan Allah Ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat  kebaikan." (QS An-Nahl/  16:128).  (Dr  Al-Fauzan, ibid, hal 22-23). 


Tasawuf Belitan Iblis
- H Hartono Ahmad Jaiz –

Kunjungi juga:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar