Benarkah pendapat atau kilah Harun Nasution yang dikenal tidak memasukkan
qodho' dan qodar ke dalam rukun iman, dan yang dalam hal ini tampak memperkuat
barisan shufi, baik secara pemikiran maupun praktek itu?
Kita simak syarah atau
penjelasan Hadits Qudsi yang dia jadikan kilah itu, sebenarnya apakah ada
kaitannya dengan tasawwuf, mari kita simak sebagai berikut:
Al-walayah dengan
difathah wawunya artinya adalah almahabbah, kecintaan, dan lawannya adalah
al'adawah, permusuhan. Sedang "wali" adalah lawan kata dari "musuh", dan
wali-wali Allah itu adalah orang-orang yang beriman lagi bertaqwa. Allah
Ta'ala berfirman:
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu)
orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa." (QS Yunus/
10:62-63).
Maka setiap orang mukmin yang bertaqwa dialah wali Allah sesuai dengan keimanan dan ketaqwaannya. Sedang orang yang kafir maka dialah musuh Allah. Lantas orang mukmin yang bermaksiat maka berkumpul pada dirinya dua perkara --dia wali Allah sesuai dengan iman yang ada dalam dirinya, dan dia musuh Allah sesuai dengan maksiat yang ada dalam dirinya. Wali itu bukan orang yang maksum (terjaga) dari kesalahan seperti yang dikira/diklaim oleh sebagian orang fanatik terhadap orang yang mereka namakan auliya'. Dan auliya' (para wali) tidak memiliki kemampuan mengatur alam, tidak mampu menarik manfaat dan menolak bahaya dan menyembuhkan penyakit, dan menghilangkan keruwetan, seperti yang disangka oleh banyak orang ahli khurofat yang menggantungkan diri pada auliya' dan menyembah mereka selain Allah, dan meminta tolong pada mereka dalam musibah-musibah berat, dan meminta pada mereka untuk mencukupi kebutuhan, dan menghilangkan keruwetan, juga meminta berkah dengan mengusap bagian-bagian badan mereka, tanah-tanah mereka, dan kuburan-kuburan mereka, dan bernadzar untuk mereka, dan menyembelih kurban untuk mereka, seperti yang dulu telah dilakukan orang-orang musyrik jahiliyah.
Seperti firman Allah Ta'ala tentang mereka:"Dan mereka menyembah selain dari Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah." (QS Yunus/ 10:18).
Maka setiap orang mukmin yang bertaqwa dialah wali Allah sesuai dengan keimanan dan ketaqwaannya. Sedang orang yang kafir maka dialah musuh Allah. Lantas orang mukmin yang bermaksiat maka berkumpul pada dirinya dua perkara --dia wali Allah sesuai dengan iman yang ada dalam dirinya, dan dia musuh Allah sesuai dengan maksiat yang ada dalam dirinya. Wali itu bukan orang yang maksum (terjaga) dari kesalahan seperti yang dikira/diklaim oleh sebagian orang fanatik terhadap orang yang mereka namakan auliya'. Dan auliya' (para wali) tidak memiliki kemampuan mengatur alam, tidak mampu menarik manfaat dan menolak bahaya dan menyembuhkan penyakit, dan menghilangkan keruwetan, seperti yang disangka oleh banyak orang ahli khurofat yang menggantungkan diri pada auliya' dan menyembah mereka selain Allah, dan meminta tolong pada mereka dalam musibah-musibah berat, dan meminta pada mereka untuk mencukupi kebutuhan, dan menghilangkan keruwetan, juga meminta berkah dengan mengusap bagian-bagian badan mereka, tanah-tanah mereka, dan kuburan-kuburan mereka, dan bernadzar untuk mereka, dan menyembelih kurban untuk mereka, seperti yang dulu telah dilakukan orang-orang musyrik jahiliyah.
Seperti firman Allah Ta'ala tentang mereka:"Dan mereka menyembah selain dari Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah." (QS Yunus/ 10:18).
Dan Allah Ta'ala
berfirman:"Dan
orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak
menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya." (QS Az-Zumar/ 39:3).
Dan ayat-ayat lainnya.
Tidaklah setiap yang
diklaim sebagai wali itu jadi wali. Sesungguhnya wali itu tidak lain hanya
orang yang beriman lagi bertaqwa, sedangkan wali itu orang yang butuh dan
berhajat kepada Tuhannya, dia tidak mampu memberikan mudharat dan manfaat
kepada dirinya ataupun kepada orang lain. Wali-wali Allah itu wajib
dicintai dan dihormati tanpa ghuluw (berlebih-lebihan) dalam menghormati
mereka dan tidak berlebihan dalam mendudukkan hak mereka dengan meminta
sesuatu kepada mereka yang sebenarnya tidak boleh diminta kecuali kepada
Allah.
Diharamkan memusuhi
mereka (wali-wali), mengurangi hak mereka, dan menyakiti mereka. Allah telah
mengancam orang yang mengerjakan hal itu dengan firmanNya dalam hadits:
"Barangsiapa memusuhi wali-Ku maka sungguh Aku telah umumkan perang dengannya"
artinya sungguh telah aku beritahukan bahwa aku memusuhi orang yang
memusuhiKu dengan (lantaran) memusuhi wali-waliKu. Ini sesuai dengan
tingkatan pertama atas orang yang memusuhi para sahabat Radhiyallahu 'anhum
dan orang-orang yang memarahi para sahabat di antaranya orang-orang Syi'ah dan
ahli bid'ah. Nabi Saw bersabda: "Janganlah kalian mencaci shabat-sahabtku.
Karena, demi Allah yang diriku ada di tanganNya, seandainya seseorang kamu
menginfaqkan emas seberat Gunung Uhud maka tidak sampai sepanjang salah satu
mereka dan tidak separuhnya."
Nabi Saw juga bersabda:
Allah, Allah, mengenai sahabt-sahabatku. Janganlah kalian
menjadikan mereka sebagai sasaran, karena barangsiapa menyakiti mereka maka
sungguh ia telah menyakitiku, dan barangsiapa menyakitiku maka sungguh ia
telah menyakiti Allah, dan barangsiapa menyakiti Allah maka hampir saja
Allah menimpakan adzab padanya." (dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dan
lainnya.)
Ibnu Daqiq rahimahullah
berkata: "Wali Allah Ta'ala adalah yang mengikuti apa yang disyari'atkan
Allah. Maka berhati-hatilah manusia dari menyakiti hati-wali Allah 'Azza wa
Jalla." Arti memusuhi itu kalau menjadikannya musuh, dan saya tidak melihat
arti selain memusuhinya lantaran dia itu wali Allah. Adapun apabila
keadaan memang menuntut adanya perselisihan pendapat antara dua wali Allah
secara kehakiman ataupun pertengkaran maka dikembalikan kepada upaya
mengeluarkan hak yang samar (untuk menentukan kebenaran), karena hal
(pertentangan antar dua wali Allah) itu tidak termasuk dalam hadits ini.
Karena sesungguhnya telah berlangsung pertengkaran antara Abu Bakar dan Umar
radhiyallahu 'anhuma, dan antara Abbas dan Ali ra, antar banyak sahabat,
sedangkan mereka semua itu adalah wali-wali Allah 'Azza wa Jalla. (Dr shalih
bin Fauzan bin Abdullah Al-fauzan, Ad-Dhiyaa' al-Laami' minal Ahaadiits
al-Qudsiyyah al-Jawaami', 1990, hal 18-21).
Kemudian Allah SWT
menjelaskan sebab-sebab yang menjadikan orang memperoleh kewalian Allah
Ta'ala, dan hamba itu menjadi wali Allah --artinya dicintai dan haram
dimusuhi, maka Allah berfirman: Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba-Ku
kepada-Ku yang lebih Aku sukai daripada pengamalan segala yang Kufardhukan
atasnya, dan hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan
melaksanakan amal-amal sunnah, maka Aku senantiasa mencintainya." Maka Allah
menjelaskan bahwa sebab kewalian itu adalah mendekatkan diri kepadaNya SWT
dengan mentaatiNya. Dan wali-wali Allah itu adalah mereka yang mengerjakan
perbuatan dengan ta'at yang mendekatkan diri kepada-Nya dan meninggalkan
maksiat terhadap-Nya. Ini membatalkan dakwaan-dakwaan yang mengklaim kewalian
bagi manusia-manusia yang menyelisihi syari'at Allah dan berbuat bid'ah,
khurafat, dan syirik.
Mereka itu justru
musuh-musuh Allah yang sebenarnya, bukan wali-wali-Nya.
Wali-walinya tidak
lain hanya orang-orang yang taqwa." (Al-Anfaal/ 8:34). Sedangkan mereka
itu musuh-musuh Allah yang menjauhkan diri dariNya dengan perbuatan-perbuatan
yang mengakibatkan mereka terusir dan terjauhkan. Dan kalau mereka mengaku
wali atau diklaim sebagai wali Allah pasti mereka membuat lahan mata
pencaharian yang mengacaukan manusia dengan klaim kewalian itu, dan mereka
mengeruk duit orang-orang awam. Julukan wali atau auliya' telah menjadi sumber
menangguk rezeki pada masa kini dengan membangun kuburan-kuburan dan membuka
kotak-kotak amal/nadzar, lalu di sekelilingnya dijaga oleh karyawan-karyawan
yang mengawasi lahan-lahan pencarian itu dengan bayaran dari uang yang jalannya
tidak benar.
Sesungguhnya
auliya'ullah wahai orang-orang ahli khurafat, tidak pernah mereka mendakwakan
diri mereka sebagai auliya', dan juga orang-orang Muslim tidak mendakwakan
kewalian terhadap orang tertentu kecuali ada kesaksian Rasul Saw padanya tentang
kewalian itu. Tetapi orang Muslim mengharapkan kepada mukmin lain suatu
kebaikan, dan khawatir terhadap orang jahat mengenai kejahatannya, dan mereka
mencintai orang-orang baik, dan membenci orang-orang jahat.
Mengenai firman Allah
Ta'ala: Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku yang lebih Aku
sukai daripada pengamalan segala yang Kufardhukan atasnya, adalah dalil atas
wajibnya memperhatikan kewajiban-kewajiban dan melaksanakannya sebelum hal-hal
yang sunnat. Karena yang sunnat itu tidak diterima kecuali dengan syarat
pelaksanaan yang wajib. Dan mengenai firmaNya: dan hamba-Ku yang senantiasa
mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal sunnah, maka Aku
senantiasa mencintainya." Itu menunjukkan atas keutamaan amal sunnat dan
memperbanyaknya, karena akan menyebabkan kecintaan Allah terhadap
pelakunya. Makanya yang wajib-wajib itu akan menjadi sempurna karena
dilaksanakannya yang sunnat itu apabila ada kekurangan pada yang
wajib.
Firman Allah Ta'ala:
"Bila Aku telah cinta kepadanya, jadilah Aku pendengarannya yang dengannya ia
mendengar, Aku penglihatannya yang dengannya ia melihat, aku tangannya yang
dengannya ia memukul, dan Aku kakinya yang dengan itu ia berjalan. Bila ia
memohon kepada-Ku, Aku perkenankan permohonannya, jika ia meminta perlindungan,
ia Kulindungi." Itu artinya bahwa Allah membenarkannya, menjaganya mengenai
pendengarannya, penglihatannya, tangannya, dan kakinya, maka ia tidak
menggunakan anggota-anggota badannya ini untuk bermaksiat, dan ia hanya
menggunakannya dalam ketaatan pada Allah Azza wa Jalla.
Ibnu Daqiq Al-Ied
berkata: "Arti firman Allah itu bahwa ia (yang dicintai Allah ini) tidak
mendengarkan apa yang tidak diizinkan Allah baginya untuk mendengarnya, dan
tidak melihat sesuatu yang tidak diizinkan Allah untuk melihatnya, dan
tidak mengulurkan tangannya kepada sesuatu yang tidak diizinkan Allah untuk
menjangkaunya, dan tidak berjalan kecuali kepada hal yang diizinkan Allah baginya untuk menuju padanya..."
selesailah artinya itu, dan tafsiran itu ditunjukkan pula oleh firmaNya
dalam akhir hadits Qudsi tersebut: Bila ia memohon kepada-Ku, Aku
perkenankan permohonannya, jika ia meminta perlindungan, ia Kulindungi."
Artinya, Allah Ta'ala menyertainya dengan menyetujuinya, menolongnya, dan
menjaga anggota-anggota badannya dari segala larangan, karena balasan itu
adalah setimpal dengan perbuatan.
Dan Allah Ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan." (QS An-Nahl/ 16:128). (Dr Al-Fauzan, ibid, hal 22-23).
Dan Allah Ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan." (QS An-Nahl/ 16:128). (Dr Al-Fauzan, ibid, hal 22-23).
Tasawuf Belitan Iblis
- H Hartono Ahmad Jaiz –
Kunjungi juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar