Jumat, 04 September 2015

DEMOKRASI Sejarah, Makna, dan Respon Muslim

Akhir sejarah?
 
Tidak dapat dipungkiri, Peradaban Barat (Western Civilization) adalah peradaban yang sedang mendominasi umat manusia saat ini. Ratusan tahun lalu, peradaban yang berpusat di benua Eropa ini bangkit dan menjadi peradaban unggul dalam berbagai bidang. Namun, diakui, disamping membawa banyak kemajuan kepada umat manusia, peradaban ini juga menyimban bara api atau magma yang sangat dahsyat yang setiap saat bisa meledak dan mampu menghancurkan seluruh planet bumi dalam waktu singkat. Dalam sejarahnya, belum pernah ada peradaban yang sedang dan berpotensi besar menghancurkan dunia dan umat manusia seperti yang terjadi di era dominasi peradaban Barat saat ini.

Prof. Syed Muhammad Naquibal-Attas menulis: “Many challenges have arisen in the midst of man’s confusion throughout the ages, but none perhaps more serious and destructive to man than today’s challenge posed by Western Civilization.” Kekacauan itu, menurut al-Attas, bersumber dari keilmuan (knowledge) Barat itu sendiri. Knowledge yang disebarkan Barat pada hakekatnya telah menjadi problematik, karena kehilangan tujuan yang benar; dan lebih menimbulkan kekacauan (chaos) dalam kehidupan manusia, ketimbang membawa perdamaian dan keadilan. Menurut al-Attas, bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama, dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian. Konsekuensinya, adalah penegasian Tuhan dan Akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan. (Man is deified and Deity humanised). 5

Pada dekade 1990-an, muncul dua ilmuwan yang sangat populer di dunia internasional: yaitu Samuel P. Huntington dan Francis Fukuyama. Huntington populer dengan bukunya The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order dan Fukuyama populer dengan bukunya The End of History and The Last Man. Segera, setelah penerbitannya, buku Fukuyama mendapatkan banyak pujian.

Sebagaimana Huntington, yang menulis bukunya setelah perdebatan panjang tentang artikelnya ‘The Clash of Civilizations?’ di Jurnal Foreign Affairs (summer 1993), buku Fukuyama juga merupakan pengembangan dari artikelnya ‘The End of History?’ di jurnal The National Interest (summer 1989). Dalam makalahnya itu, Fukuyama, mencatat, bahwa setelah Barat menaklukkan rival ideologisnya, monarkhi herediter, fasisme, dan komunisme, dunia telah mencapai satu konsensus yang luar biasa terhadap demokrasi liberal. Ia berasumsi, bahwa demokrasi liberal adalah semacam titik akhir dari evolusi ideologi atau bentuk final dari bentuk pemerintahan. Dan ini sekaligus sebuah ‘akhir sejarah’ (the end of history). (A remarkable consensus concerning the legitimacy of liberal democracy as a system of government had emerged throughout the world over the past few years, as it conquered rival ideologies like hereditary monarchy, fascism, and most recently communism. More than that, however, I argued that liberal democracy may constitute the “end point of mankind’s ideological evolution” and the “final form of human government,” and as such constituted the “end of history.)” 6

Dalam bukunya, Fukuyama memasang sederet negara yang pada tahun 1990-an memilih sistem demokrasi-liberal, sehingga ini seolah-olah menjadi indikasi, bahwa – sesuai ramalan Hegel – maka akhir sejarah umat manusia adalah kesepakatan mereka untuk menerima Demokrasi Liberal. Tahun 1790, hanya tiga negara, AS, Swiss, dan Perancis, yang memilih demokrasi liberal. Tahun 1848, jumlahnya menjadi 5 negara; tahun 1900, 13 negara; tahun 1919, 25 negara, 1940, 13 negara; 1960, 36 negara; 1975, 30 negara; dan 1990, 61 negara. 7

Pada ‘akhir sejarah’, kata Fukuyama, tidak ada lagi tantangan ideologis yang serius terhadap Demokrasi Liberal. Di masa lalu, manusia menolak Demokrasi Liberal sebab mereka percaya bahwa Demokrasi Liberal adalah inferior terhadap berbagai ideologi dan sistem lainnya. Tetapi, sekarang, katanya, sudah menjadi konsensus umat manusia, kecuali dunia Islam, untuk menerapkan DEmokrasi Liberal. Ia menulis: “At the end of history, there are no serious ideological competitors left to Liberal Democracy. In the past, people rejected Liberal Democracy because they believed that it was inferior to monarchy, aristocracy, theocracy, fascism, communist totalitarianism, or whatever ideology they happened to believed in, But now, outside the Islamic world, there appears to be a general consensus that accepts liberal democracy’s claims to be the most rational form of government, that is, the state that realizes most fully either rational desire or rational recognition.” 8

Pendapat Fukuyama bahwa pada masa akhir sejarah tidak ada tantangan serius terhadap Demokrasi Liberal dan umat manusia – di luar dunia Islam – telah terjadi konsensus untuk menerapkan Demokrasi Liberal adalah merupakan statemen yang sangat debatable dan terbukti kontradiktif dengan sikap Barat sendiri. Dalam memandang ‘demokrasi’, Fukuyama mengadopsi pendapat Huntington, tentang perlunya proses sekularisasi sebagai prasyarat dari demokratisasi. Karena itu, ketika Islam dipandang ‘tidak compatible’ dengan demokrasi, maka dunia Islam juga tidak kondusif bagi penerapan demokrasi yang bersifat sekular sekaligus liberal.

Dalam kajiannya tentang ‘Gelombang Demokratisasi Ketiga’, Huntington mengungkap penelitian yang menunjukkan adanya hubungan negatif antara Islam dan demokratisasi. Sebaliknya, ada korelasi yang tinggi antara agama Kristen Barat dengan demokrasi. Di tahun 1988, agama Katolik dan/atau Protestan merupakan agama dominan pada 39 dari 46 negara demokratis. Ke-39 negara demokratis itu merupakan 57 persen dari 68 negara dimana Kristen Barat merupakan agama dominan. Sebaliknya, papar Huntington, dari 58 negara yang agama dominannya bukan Kristen Barat, hanya ada 7 negara (12 persen) yang dapat dikategorikan negara demokratis. Jadi, simpul Huntington, demokrasi sangat jarang terdapat di negeri-negeri di mana mayoritas besar penduduknya beragama Islam, Budha, atau Konfusius. Diakui oleh Huntington, korelasi itu bukan merupakan hubungan sebab akibat. “Namun, agama Kristen Barat menekankan martabat individu dan pemisahan antara gereja dan negara (sekuler.pen). Di banyak negeri, pemimpin-pemimpin gereja Protestan dan Katolik telah lama merupakan sosok utama dalam perjuangan menentang negeri-negeri represif. Tampaknya masuk akal menghipotesakan bahwa meluasnya agama Kristen mendorong perkembangan demokrasi,” papar Huntington. 9

Tentang hubungan agama dengan sekularisasi, Fukuyama mencatat, bahwa liberalisme tidak akan muncul, jika Kristen tidak melakukan sekularisasi. Dan itu sudah dilakukan oleh Protestanisme di Barat, yang telah membuang adanya kelas khusus pemuka agama dan menjauhkan diri dari intervensi terhadap politik. Tulis Fukuyama: “Christianity in a certain sense had to establish itself through a secularization of its goals befofe liberalism could emerge. The generally accepted agent for this secularization in The West was Protestantism. By making a religion a private matter between Christian and his God, Protestantism eliminated the need for a separate class of priests, and religious intervention into politics more generally." 10

Fukuyama menyorot dua kelompok agama yang menurutnya sangat sulit menerima demokrasi, yaitu Yahudi Ortodoks dan Islam fundamentalis. Keduanya dia sebut sebagai “totalistic religious” yang ingin mengatur semua aspek kehidupan manusia, baik yang bersifat publik maupun privat, termasuk wilayah politik. Meskipun agamaagama itu bisa menerima demokrasi, tetapi sangat sulit menerima liberalisme, khususnya tentang kebebasan beragama. Karena itulah, menurut Fukuyama, tidak mengherankan, jika satu-satunya negara Demokrasi Liberal di dunia Islam adalah Turki, yang secara tegas menolak warisan tradisi Islam dan memilih bentuk negara sekular di awal abad ke- 20. 11 Bernard Lewis, seorang orientalis Yahudi, juga menulis: “Without a secular state and a neutral civil society, there can be neither democracy nor development.” 12

Banyak kritik terhadap Fukuyama. Tidaklah benar, saat ini tidak ada tantangan serius secara ideologis terhadap Demokrasi Liberal. Faktanya, pasca Perang Dingin, Islam masih dianggap sebagai tantangan ideologis yang serius, sehingga negara-negara Barat sangat khawatir terhadap munculnya negara yang menerapkan ideologi Islam. Sebab, menurut Huntington, Islam adalah satu-satunya peradaban yang pernah membuat Barat tidak merasa aman. Katanya: ”Islam is the only civilization which has put the survival of the West in doubt, and it has done at least twice.” 13

Kasus dukungan Barat terhadap pembatalan Pemilu di Aljazair yang dimenangkan oleh FIS menunjukkan, bahwa Barat menganggap ada tantangan serius terhadap ideologi mereka. Menurut Christoper Ogden (dalam artikel "View from Washington", Times, 3 Februari 1992), tindakan AS yang mendukung permainan .kekuasaan antidemokrasi merupakan suatu tindakan yang sangat keliru. Sikap AS dan Perancis yang menyatakan bahwa kudeta Aljazair "konstitusional", tidak lain merupakan gejala penyakit gila paranoid (ketakutan tanpa dasar) terhadap Muslim Fundamentalis. Ogden menulis bahwa nonsense menyatakan AS tidak dapat mempengaruhi perubahan di Aljazair. Seperti disebutkan terdahulu, pasca runtuhnya Komunisme, justru Barat menerapkan pandangan yang paranoid dan berlebihan terhadap Islam. Itu bisa disimak dari berbagai perlakuan yang diterima kaum Muslim yang memasuki negara-negara Barat setelah peristiwa 11 September 2001. Hanya karena namanya berbau Islam, atau wajahnya bercorak Arab, maka seseorang yang memasuki negara-negara Barat dapat menerima perlakuan yang tidak manusiawi. Ketakutan yang membabi buta telah menjadi satu sindroma semacam paranoid. Barat sangat khawatir jika ada negara yang menerapkan sistem atau hukum Islam.

Harian New Straits Times edisi 15 September 2004, memuat berita berjudul “Turkish women denounce plans to criminalise adultary”. Wanita-wanita Turki mengecam rencana untuk mengkriminalkan perbuatan zina. Diceritakan, bahwa parlemen Turki sedang mendiskusikan satu Rancangan Undang-undang yang diajukan pemerintah yang isinya menetapkan perzinahan sebagai satu bentuk kejahatan kriminal. Menurut PM Turki, Recep Tayyip Erdogan, Undang-undang itu dimaksudkan untuk melindungi keluarga dan istri-istri dari perselingkuhan/perzinahan suaminya. RUU itu kemudian menimbulkan kontroversi hebat. Yang menarik, bukan kalangan dalam Turki saja yang ribut, tetapi juga pejabat-pejabat Uni Eropa. Pejabat perluasan Uni Eropa, Guenter Verheugen, menyatakan, bahwa sikap anti perzinahan dapat menciptakan imej bahwa Undang-undang di Turki mulai mendekati hukum Islam. Bahkan, Menteri Luar Negeri Inggris, Jack Straw menyatakan, bahwa jika proposal itu disahkan sebagai Undangundang, maka akan menciptakan kesulitan bagi Turki. (If this proposal, which I gather is only a proposal in respect of adultary, were to become firmly fixed into law, than that would create difficulties for Turkey).

Kasus di Turki ini menarik untuk disimak, bagaimana masalah moral yang menjadi urusan internal dalam negeri satu negeri muslim ternyata mendapat perhatian besar dari tokoh-tokoh Barat. Bahkan, dapat berdampak pada masalah politik yang serius. Mengapa orang-orang Barat (Eropa) itu begitu khawatir jika rakyat Turki, melalui parlemen mereka, memutuskan bahwa perzinahan adalah salah satu bentuk kejahatan? Ada apa dibalik semua ini? Apakah karena mereka merupakan pelanggan tetap pelacurpelacur Turki, sehingga dengan diundangkannya larangan perzinahan, maka mereka akan kehilangan kesempatan untuk melampiaskan syahwat mereka? Mengapa mereka tidak membiarkan saja, sesuai jargon demokrasi liberal mereka, rakyat Turki untuk menentukan apa yang baik dan buruk untuk mereka? Mengapa langsung saja mereka mengingatkan, bahwa undang-undang itu akan mendekatkan Turki kepada Islam?

Kasus Turki ini sekaligus menjadi bukti bahwa Barat bersikap begitu paranoid terhadap penerapan hukum Islam, dan sekaligus mematahkan tesis Fukuyama tentang tidak adanya tantangan ideologis yang serius terhadap Demokrasi Liberal pasca Perang Dingin. Karena itu, klaim Fukuyama bahwa telah terjadi konsensus umat manusia untuk memeluk ‘Demokrasi Liberal’ juga berlebihan. Klaim ini sangat terlalu dini dan mendapatkan banyak kritik. Kemajuan dan kemenangan, serta apa yang disebut oleh Fukuyama sebagai ‘konsensus’ dunia internasional – suka atau terpaksa– untuk mengambil dan menerapkan nilai dan sistem Barat memang sebuah fakta yang tidak dapat diingkari. Dimana telah terjadi konsensus umat manusia? Pada sisi ini, sikap Barat juga paradoks. Pada satu sisi mengkampanyekan ‘pluralisme’ sebagai salah satu elemen dasar Demokrasi Liberal, tetapi pada sisi lain juga memaksakan ‘uniformitas’ tentang keharusan menerapkan standar Barat dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia, seperti yang terjadi di Turki. Dukungan Barat terhadap rezim otoriter yang antidemokrasi di dunia Islam – hanya karena menjamin kepentingan Barat – menambah pekatnya kadar paradoksi Barat.

Nicholas Lash, seorang guru besar di University of Cambridge, menulis satu bab berjudul ‘Beyond The End of History? dalam bukunya, The Beginning and The End of Religion. Lash menyebut gagasan Fukuyama tentang ‘The End of History’ sebagai ‘lelucon gila tentang akhir sejarah’ (the mad joke of the end of history). Ia mencatat: Unfortunately, notwithstanding, his wistful recognition that ‘The end of history will be a very sad time’ with little left for human beings (or, perhaps, white American males?) to do except be caretakers of ‘the museum of history’, Fukuyama still supposes there to be no thinkable alternative to a historicist understanding of history as a tale of ‘progress’, an ‘evolution from primitive to modern’.” 14


5. Jennifer M. Webb (ed.), Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society, (Victoria, The Cranlana Program, 2002), vol 2, hal. 231-240.
6. Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, (New York: Avon Books, 1992),
hal. xi
7. Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, hal. 49-50.
8. Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, hal. 211-212.
9. Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, hal. 89.
10. Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, hal. 216,
11. Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, hal. 217.
12. Jean-Francois Revel, Democracy Against Itself, hal. 213.,m
13. Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, (New York: Touchtone Books, 1996), hal. 209-210.
14. Nicholas Lash, The Beginning and The End of Religion, (Cambridge:Cambridge University Press, 1996), hal. 252-253.


DEMOKRASI Sejarah, Makna, dan Respon Muslim
Oleh: DR. ADIAN HUSAINI

Kunjungi juga:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar