Akhir sejarah?
Tidak dapat dipungkiri,
Peradaban Barat (Western Civilization) adalah peradaban yang sedang
mendominasi umat manusia saat ini. Ratusan tahun lalu, peradaban yang berpusat
di benua Eropa ini bangkit dan menjadi peradaban unggul dalam berbagai bidang.
Namun, diakui, disamping membawa banyak kemajuan kepada umat manusia, peradaban
ini juga menyimban bara api atau magma yang sangat dahsyat yang setiap saat bisa
meledak dan mampu menghancurkan seluruh planet bumi dalam waktu singkat. Dalam
sejarahnya, belum pernah ada peradaban yang sedang dan berpotensi besar
menghancurkan dunia dan umat manusia seperti yang terjadi di era dominasi
peradaban Barat saat ini.
Prof. Syed Muhammad
Naquibal-Attas menulis: “Many challenges have arisen in the midst of man’s
confusion throughout the ages, but none perhaps more serious and destructive to
man than today’s challenge posed by Western Civilization.” Kekacauan itu,
menurut al-Attas, bersumber dari keilmuan (knowledge) Barat itu sendiri.
Knowledge yang disebarkan Barat pada hakekatnya telah menjadi
problematik, karena kehilangan tujuan yang benar; dan lebih menimbulkan
kekacauan (chaos) dalam kehidupan manusia, ketimbang membawa perdamaian
dan keadilan. Menurut al-Attas, bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama,
dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai
relatif diterima. Tidak ada satu kepastian. Konsekuensinya, adalah penegasian
Tuhan dan Akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak
mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan. (Man
is deified and Deity humanised). 5
Pada dekade 1990-an, muncul dua
ilmuwan yang sangat populer di dunia internasional: yaitu Samuel P. Huntington
dan Francis Fukuyama. Huntington populer dengan bukunya The Clash of
Civilizations and The Remaking of World Order dan Fukuyama populer dengan
bukunya The End of History and The Last Man. Segera, setelah
penerbitannya, buku Fukuyama mendapatkan banyak pujian.
Sebagaimana Huntington, yang
menulis bukunya setelah perdebatan panjang tentang artikelnya ‘The Clash of
Civilizations?’ di Jurnal Foreign Affairs (summer 1993), buku
Fukuyama juga merupakan pengembangan dari artikelnya ‘The End of
History?’ di jurnal The National Interest (summer 1989). Dalam
makalahnya itu, Fukuyama, mencatat, bahwa setelah Barat menaklukkan rival
ideologisnya, monarkhi herediter, fasisme, dan komunisme, dunia telah mencapai
satu konsensus yang luar biasa terhadap demokrasi liberal. Ia berasumsi, bahwa
demokrasi liberal adalah semacam titik akhir dari evolusi ideologi atau bentuk
final dari bentuk pemerintahan. Dan ini sekaligus sebuah ‘akhir sejarah’ (the
end of history). (A remarkable consensus concerning the legitimacy of liberal
democracy as a system of government had emerged throughout the world over the
past few years, as it conquered rival ideologies like hereditary monarchy,
fascism, and most recently communism. More than that, however, I argued that
liberal democracy may constitute the “end point of mankind’s ideological
evolution” and the “final form of human government,” and as such constituted the
“end of history.)” 6
Dalam bukunya, Fukuyama
memasang sederet negara yang pada tahun 1990-an memilih sistem
demokrasi-liberal, sehingga ini seolah-olah menjadi indikasi, bahwa – sesuai
ramalan Hegel – maka akhir sejarah umat manusia adalah kesepakatan mereka untuk
menerima Demokrasi Liberal. Tahun 1790, hanya tiga negara, AS, Swiss, dan
Perancis, yang memilih demokrasi liberal. Tahun 1848, jumlahnya menjadi 5
negara; tahun 1900, 13 negara; tahun 1919, 25 negara, 1940, 13 negara; 1960, 36
negara; 1975, 30 negara; dan 1990, 61 negara. 7
Pada ‘akhir sejarah’, kata
Fukuyama, tidak ada lagi tantangan ideologis yang serius terhadap Demokrasi
Liberal. Di masa lalu, manusia menolak Demokrasi Liberal sebab mereka percaya
bahwa Demokrasi Liberal adalah inferior terhadap berbagai ideologi dan sistem
lainnya. Tetapi, sekarang, katanya, sudah menjadi konsensus umat manusia,
kecuali dunia Islam, untuk menerapkan DEmokrasi Liberal. Ia menulis: “At the
end of history, there are no serious ideological competitors left to Liberal
Democracy. In the past, people rejected Liberal Democracy because they believed
that it was inferior to monarchy, aristocracy, theocracy, fascism, communist
totalitarianism, or whatever ideology they happened to believed in, But now,
outside the Islamic world, there appears to be a general consensus that accepts
liberal democracy’s claims to be the most rational form of government, that is,
the state that realizes most fully either rational desire or rational
recognition.” 8
Pendapat Fukuyama bahwa pada
masa akhir sejarah tidak ada tantangan serius terhadap Demokrasi Liberal dan
umat manusia – di luar dunia Islam – telah terjadi konsensus untuk menerapkan
Demokrasi Liberal adalah merupakan statemen yang sangat debatable dan
terbukti kontradiktif dengan sikap Barat sendiri. Dalam memandang ‘demokrasi’,
Fukuyama mengadopsi pendapat Huntington, tentang perlunya proses sekularisasi
sebagai prasyarat dari demokratisasi. Karena itu, ketika Islam dipandang ‘tidak
compatible’ dengan demokrasi, maka dunia Islam juga tidak kondusif bagi
penerapan demokrasi yang bersifat sekular sekaligus liberal.
Dalam kajiannya tentang
‘Gelombang Demokratisasi Ketiga’, Huntington mengungkap penelitian yang
menunjukkan adanya hubungan negatif antara Islam dan demokratisasi. Sebaliknya,
ada korelasi yang tinggi antara agama Kristen Barat dengan demokrasi. Di tahun
1988, agama Katolik dan/atau Protestan merupakan agama dominan pada 39 dari 46
negara demokratis. Ke-39 negara demokratis itu merupakan 57 persen dari 68
negara dimana Kristen Barat merupakan agama dominan. Sebaliknya, papar
Huntington, dari 58 negara yang agama dominannya bukan Kristen Barat, hanya ada
7 negara (12 persen) yang dapat dikategorikan negara demokratis. Jadi, simpul
Huntington, demokrasi sangat jarang terdapat di negeri-negeri di mana mayoritas
besar penduduknya beragama Islam, Budha, atau Konfusius. Diakui oleh Huntington,
korelasi itu bukan merupakan hubungan sebab akibat. “Namun, agama Kristen Barat
menekankan martabat individu dan pemisahan antara gereja dan negara
(sekuler.pen). Di banyak negeri, pemimpin-pemimpin gereja Protestan dan Katolik
telah lama merupakan sosok utama dalam perjuangan menentang negeri-negeri
represif. Tampaknya masuk akal menghipotesakan bahwa meluasnya agama Kristen
mendorong perkembangan demokrasi,” papar Huntington. 9
Tentang hubungan agama dengan
sekularisasi, Fukuyama mencatat, bahwa liberalisme tidak akan muncul, jika
Kristen tidak melakukan sekularisasi. Dan itu sudah dilakukan oleh Protestanisme
di Barat, yang telah membuang adanya kelas khusus pemuka agama dan menjauhkan
diri dari intervensi terhadap politik. Tulis Fukuyama: “Christianity in a
certain sense had to establish itself through a secularization of its goals
befofe liberalism could emerge. The generally accepted agent for this
secularization in The West was Protestantism. By making a religion a private
matter between Christian and his God, Protestantism eliminated the need for a
separate class of priests, and religious intervention into politics more
generally." 10
Fukuyama menyorot dua kelompok
agama yang menurutnya sangat sulit menerima demokrasi, yaitu Yahudi Ortodoks dan
Islam fundamentalis. Keduanya dia sebut sebagai “totalistic religious”
yang ingin mengatur semua aspek kehidupan manusia, baik yang bersifat publik
maupun privat, termasuk wilayah politik. Meskipun agamaagama itu bisa menerima
demokrasi, tetapi sangat sulit menerima liberalisme, khususnya tentang kebebasan
beragama. Karena itulah, menurut Fukuyama, tidak mengherankan, jika satu-satunya
negara Demokrasi Liberal di dunia Islam adalah Turki, yang secara tegas menolak
warisan tradisi Islam dan memilih bentuk negara sekular di awal abad ke- 20.
11 Bernard Lewis, seorang
orientalis Yahudi, juga menulis: “Without a secular state and a neutral civil
society, there can be neither democracy nor development.” 12
Banyak kritik terhadap
Fukuyama. Tidaklah benar, saat ini tidak ada tantangan serius secara ideologis
terhadap Demokrasi Liberal. Faktanya, pasca Perang Dingin, Islam masih dianggap
sebagai tantangan ideologis yang serius, sehingga negara-negara Barat sangat
khawatir terhadap munculnya negara yang menerapkan ideologi Islam. Sebab,
menurut Huntington, Islam adalah satu-satunya peradaban yang pernah membuat
Barat tidak merasa aman. Katanya: ”Islam is the only civilization which has
put the survival of the West in doubt, and it has done at least twice.”
13
Kasus dukungan Barat terhadap
pembatalan Pemilu di Aljazair yang dimenangkan oleh FIS menunjukkan, bahwa Barat
menganggap ada tantangan serius terhadap ideologi mereka. Menurut Christoper
Ogden (dalam artikel "View from Washington", Times, 3 Februari 1992), tindakan
AS yang mendukung permainan .kekuasaan antidemokrasi merupakan suatu tindakan
yang sangat keliru. Sikap AS dan Perancis yang menyatakan bahwa kudeta Aljazair
"konstitusional", tidak lain merupakan gejala penyakit gila paranoid (ketakutan
tanpa dasar) terhadap Muslim Fundamentalis. Ogden menulis bahwa nonsense
menyatakan AS tidak dapat mempengaruhi perubahan di Aljazair. Seperti disebutkan
terdahulu, pasca runtuhnya Komunisme, justru Barat menerapkan pandangan yang
paranoid dan berlebihan terhadap Islam. Itu bisa disimak dari berbagai perlakuan
yang diterima kaum Muslim yang memasuki negara-negara Barat setelah peristiwa 11
September 2001. Hanya karena namanya berbau Islam, atau wajahnya bercorak Arab,
maka seseorang yang memasuki negara-negara Barat dapat menerima perlakuan yang
tidak manusiawi. Ketakutan yang membabi buta telah menjadi satu sindroma semacam
paranoid. Barat sangat khawatir jika ada negara yang menerapkan sistem atau
hukum Islam.
Harian New Straits Times
edisi 15 September 2004, memuat berita berjudul “Turkish women denounce plans
to criminalise adultary”. Wanita-wanita Turki mengecam rencana untuk
mengkriminalkan perbuatan zina. Diceritakan, bahwa parlemen Turki sedang
mendiskusikan satu Rancangan Undang-undang yang diajukan pemerintah yang isinya
menetapkan perzinahan sebagai satu bentuk kejahatan kriminal. Menurut PM Turki,
Recep Tayyip Erdogan, Undang-undang itu dimaksudkan untuk melindungi keluarga
dan istri-istri dari perselingkuhan/perzinahan suaminya. RUU itu kemudian
menimbulkan kontroversi hebat. Yang menarik, bukan kalangan dalam Turki saja
yang ribut, tetapi juga pejabat-pejabat Uni Eropa. Pejabat perluasan Uni Eropa,
Guenter Verheugen, menyatakan, bahwa sikap anti perzinahan dapat menciptakan
imej bahwa Undang-undang di Turki mulai mendekati hukum Islam. Bahkan, Menteri
Luar Negeri Inggris, Jack Straw menyatakan, bahwa jika proposal itu disahkan
sebagai Undangundang, maka akan menciptakan kesulitan bagi Turki. (If this
proposal, which I gather is only a proposal in respect of adultary, were to
become firmly fixed into law, than that would create difficulties for Turkey).
Kasus di Turki ini menarik
untuk disimak, bagaimana masalah moral yang menjadi urusan internal dalam negeri
satu negeri muslim ternyata mendapat perhatian besar dari tokoh-tokoh Barat.
Bahkan, dapat berdampak pada masalah politik yang serius. Mengapa orang-orang
Barat (Eropa) itu begitu khawatir jika rakyat Turki, melalui parlemen mereka,
memutuskan bahwa perzinahan adalah salah satu bentuk kejahatan? Ada apa dibalik
semua ini? Apakah karena mereka merupakan pelanggan tetap pelacurpelacur Turki,
sehingga dengan diundangkannya larangan perzinahan, maka mereka akan kehilangan
kesempatan untuk melampiaskan syahwat mereka? Mengapa mereka tidak membiarkan
saja, sesuai jargon demokrasi liberal mereka, rakyat Turki untuk menentukan apa
yang baik dan buruk untuk mereka? Mengapa langsung saja mereka mengingatkan,
bahwa undang-undang itu akan mendekatkan Turki kepada Islam?
Kasus Turki ini sekaligus
menjadi bukti bahwa Barat bersikap begitu paranoid terhadap penerapan hukum
Islam, dan sekaligus mematahkan tesis Fukuyama tentang tidak adanya tantangan
ideologis yang serius terhadap Demokrasi Liberal pasca Perang Dingin. Karena
itu, klaim Fukuyama bahwa telah terjadi konsensus umat manusia untuk memeluk
‘Demokrasi Liberal’ juga berlebihan. Klaim ini sangat terlalu dini dan
mendapatkan banyak kritik. Kemajuan dan kemenangan, serta apa yang disebut oleh
Fukuyama sebagai ‘konsensus’ dunia internasional – suka atau terpaksa– untuk
mengambil dan menerapkan nilai dan sistem Barat memang sebuah fakta yang tidak
dapat diingkari. Dimana telah terjadi konsensus umat manusia? Pada sisi ini,
sikap Barat juga paradoks. Pada satu sisi mengkampanyekan ‘pluralisme’ sebagai
salah satu elemen dasar Demokrasi Liberal, tetapi pada sisi lain juga memaksakan
‘uniformitas’ tentang keharusan menerapkan standar Barat dalam berbagai aspek
kehidupan umat manusia, seperti yang terjadi di Turki. Dukungan Barat terhadap
rezim otoriter yang antidemokrasi di dunia Islam – hanya karena menjamin
kepentingan Barat – menambah pekatnya kadar paradoksi Barat.
Nicholas Lash, seorang guru
besar di University of Cambridge, menulis satu bab berjudul ‘Beyond
The End of History? dalam bukunya, The Beginning and The End of
Religion. Lash menyebut gagasan Fukuyama tentang ‘The End of History’
sebagai ‘lelucon gila tentang akhir sejarah’ (the mad joke of the end of
history). Ia mencatat: Unfortunately, notwithstanding, his wistful
recognition that ‘The end of history will be a very sad time’ with little left
for human beings (or, perhaps, white American males?) to do except be caretakers
of ‘the museum of history’, Fukuyama still supposes there to be no thinkable
alternative to a historicist understanding of history as a tale of ‘progress’,
an ‘evolution from primitive to modern’.” 14
5. Jennifer M. Webb (ed.),
Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society, (Victoria, The Cranlana
Program, 2002), vol 2, hal. 231-240.
6. Francis Fukuyama, The
End of History and the Last Man, (New York: Avon Books, 1992),
hal. xi
7. Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, hal. 49-50.
8. Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, hal. 211-212.
hal. xi
7. Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, hal. 49-50.
8. Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, hal. 211-212.
9. Samuel P. Huntington,
Gelombang Demokratisasi Ketiga, hal. 89.
10. Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, hal. 216,
11. Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, hal. 217.
12. Jean-Francois Revel, Democracy Against Itself, hal. 213.,m
13. Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, (New York: Touchtone Books, 1996), hal. 209-210.
10. Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, hal. 216,
11. Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, hal. 217.
12. Jean-Francois Revel, Democracy Against Itself, hal. 213.,m
13. Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, (New York: Touchtone Books, 1996), hal. 209-210.
14. Nicholas Lash, The
Beginning and The End of Religion, (Cambridge:Cambridge University Press,
1996), hal. 252-253.
DEMOKRASI Sejarah, Makna, dan Respon Muslim
Oleh: DR. ADIAN HUSAINI
Kunjungi juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar