Pengertian
Bid’ah
Bid’ah
menurut bahasa adalah sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya.(1) Ini bisa dilihat dalam firman Allah:
“Allah-lah Pencipta
langit dan bumi”.(QS Al
Baqarah 117).
Maksudnya, Allah yang menciptakan langit dan bumi, tanpa didahului suatu contoh apapun.
Maksudnya, Allah yang menciptakan langit dan bumi, tanpa didahului suatu contoh apapun.
Bid’ah
menurut syara’, sebagaimana penjelasan Ibnu Taimiyah Rahimahullah: Bid’ah adalah
sesuatu yang menyelisihi atau menyimpang dari Al-Qur’an atau As-Sunnah dan
ijma’ salaful ummah, baik i’tiqadat (sesuatu yang harus
diyakini) maupun ibadah (sesuatu yang harus diamalkan).(2)
Imam Syatibi dalam kitab “Al-I’tisham” menjelaskan bahwa bid’ah adalah mengadakan cara agama yang dibikin-bikin, yang diadakan (oleh manusia), yang menyerupai syariah. Dan yang dimaksud dengan perilaku tersebut adalah berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.(3)
Imam Syatibi dalam kitab “Al-I’tisham” menjelaskan bahwa bid’ah adalah mengadakan cara agama yang dibikin-bikin, yang diadakan (oleh manusia), yang menyerupai syariah. Dan yang dimaksud dengan perilaku tersebut adalah berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.(3)
Bid’ah itu
ada dua: menyangkut keduniaan dan menyangkut agama. Bid’ah (penciptaan) yang
mengenai keduniaan itu boleh, selama tidak bertentangan dengan Islam. Misalnya
mengadakan pembangunan, menciptakan teknologi baru dsb.
Adapun
bid’ah yang menyangkut agama itu haram, tidak dibolehkan. Karena, agama itu
harus berdasarkan wahyu dari Allah SWT. Manusia tidak berhak membuat syari’at
(peraturan agama). Itu hanya hak Allah SWT. Maka membuat bid’ah dalam agama itu
melanggar hak Allah SWT. Hingga Nabi Muhammad SAW menegaskan:
“Wa iyyaakum wa
muhdatsaatil umuuri fainna kulla muhdatsatin bid’atun wa kulla bid’atin
dholaalah.”
“Dan jauhilah olehmu
hal-hal (ciptaan) yang baru (dalam agama). Maka sesungguhnya setiap hal
(ciptaan) baru (dalam agama) itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”
(HR Abu daud dan At-Tirmidzi, dia berkata Hadits hasan
shahih).
Rasulullah
SAW bersabda:
Artinya: “Barangsiapa mengada-adakan pada perkara
kami ini, sesuatu yang bukan darinya, maka itu adalah tertolak”.(HR Bukhari
dan Muslim).
Dan pada riwayat lain:
Artinya: “Barangsiapa melakukan amalan, bukan atas perintah kami, maka amalan itu tertolak”.(HR Muslim).(4)
Macam-macam
Bid’ah
Bid’ah
dalam agama ada dua macam, yaitu: Pertama, Bid’ah Qauliyah I’tiqadiyah
(Bid’ah ucapan atau perkataan yang bersifat keyakinan), seperti
perkataan-perkataan Jahmiyah dan Mu’tazilah dan Rafidhah dan seluruh kelompok
yang sesat aqidahnya.(5) Dan kedua, Bid’ah
pada ibada-ibadah seperti beribadah karena Allah dengan cara-cara yang tidak
disyariatkan.(5)
Dan
macam-macam bid’ah pada ibadah yang bersifat amalan, ada beberapa macam,
yaitu:
Pertama, Bid’ah berupa ibadah yang tidak pernah ada asalnya dalam
Islam, yaitu membuat-buat atau mengada-adakan amalan ibadah yang tidak ada
dasarnya pada syara’. Seperti mengada-adakan shalat bikinan yang memang tidak
disyariatkan, atau puasa bikinan yang memang tidak ada tuntunannya, atau hari
raya (A’yad) yang memang tidak dituntunkan /tidak disyariatkan. Misalnya,
mengadakan perayaan maulid dan yang semacamnya.
Kedua, Bid’ah berupa menambahkan sesuatu atas ibadah yang sudah
ada asalnya dalam syari’at Islam. Misalnya, menambah raka’at jadi lima pada
shalat Dhuhur atau pada shalat Ashar.
Ketiga, Bid’ah berupa mengerjakan ibadah yang telah disyari’atkan
tetapi dengan cara yang tidak ada dasarnya dari syari’at Islam. Misalnya
melakukan dzikir-dzikir yang disyariatkan tetapi dengan dibikin cara:
bersama-sama dan disertai rebana, dan dibikin cara: dengan suara yang keras.
Dan misalnya pula, memaksakan diri dalam beribadah , sampai keluar dari batas
sunnah Rasulullah SAW.
Keempat, Bid’ah
berupa mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk mengerjakan ibadah yang
disyari’atkan, padahal tidak ada pengkhususan dari syari’at Islam. Misalnya
mengkhususkan hari dan malam nshfu Sya’ban dengan puasa dan shalat malam.
Padahal shiyam dan qiyam disyariatkan tetapi mengkhususkan pada waktu-waktu
tertentu, diperlukan dalil.(5)
Bid’ah hakikiyah dan
idhafiyah
Imam
Syatibi membagi bid’ah menjadi dua, ditinjau dari segi adanya dalil yang
dijadikan sandaran dalam beramal atau tidak adanya dalil. Pertama, bid’ah
hakikiyah, dan kedua bid’ah idhafiyyah.(6)
Pertama, bid’ah
hakikiyah adalah suatu bid’ah yang sama sekali tidak didasarkan pada suatu
pengertian dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah, bahkan lebih bersifat melawan
atau menyelisihi ketentuan dalil yang ada. Tegasnya, dalil yang dijadikan dasar
atau sandaran dalam melakukan amalan bid’ah tersebut tidak
ada.
Contoh
bid’ah hakikiyah diantaranya :
a.
Mengerjakan hal-hal yang menyiksa diri, tanpa ada dalil yang
memerintahkannya.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abas, ia berkata: Ketika Nabi Muhammad SAW sedang
berkhutbah, tiba-tiba ada seseorang berdiri, maka Rasulullah bertanya tentang
dia, lalu mereka (para pendengar khutbah) menjawab: “Abu Israil, dia telah
bernadhar untuk tetap berdiri, tidak duduk ,dan tidak berteduh; tidak berbicara,
dan berpuasa.” Maka Rasulullah bersabda: “Kamu sekalian perintahkan kepadanya,
hendaklah dia berbicara, berteduh dan duduk, dan supaya menyempurnakan
puasanya”.(7)
b. Adanya
pemotongan kepala kerbau yang kemudian ditanam pada lubang galian tanah, sebagai
tumbal.
c.
Melakukan pecah telur bagi penganten yang sedang dipertemukan, karena adanya
kepercayaan tertentu, sebagaimana yang dilakukan di tengah-tengah
masyarakat.
d.
Melakukan terobosan di bawah keranda (mayat) bagi ahli waris, sewaktu mayat
sudah siap akan diberangkatkan ke pemakaman.
e.
Mengadakan peringatan kematian, misalnya tiga hari, empat puluh hari, seratus
hari, haul/ temu tahun, seribu hari dan seterusnya, yang itu semua tidak ada
dalilnya, bahkan bertentangan dengan dalil, dan menirukan adat orang
musyrik.
f. Minta
do’a pada isi kubur. Ini bertentangan dengan dalil yang tidak pernah membolehkan
mayat dijadikan sarana untuk berdo’a.
Disamping
itu masaih ada berbagai acara lain yang termasuk bid’ah, karena sama sekali
tidak ada dalam Islam.
Kedua, Bid’ah
Idhafiyyah adalah suatu bid’ah yang pada hakekatnya didasarkan pada dalil Al
Qur’an atau As Sunnah, tetapi cara melakukan amalan yang diamalkan dengan dalil
yang dimaksud, tidak didapatkan di dalam ajaran Islam. Contoh bid’ah idhafiyyah
adalah :
a. Sebagai
pernyataan taubat atas segala dosa, disebutlah kalimat “La ilaha illa Allah”
dengan cara geleng-geleng kepala seperti melakukan tarian. Dalam hal taubat itu,
gendang dan perlengkapannya dibunyikan. Bentuk semacam ini dilakukan oleh
seseorang dengan seriusnya untuk beberapa lama sampai orang tersebut jatuh
pingsan. Di saat itu taubat baru dihentikan, karena dianggap orang tersebut
telah diterima taubatnya.
b. Di
beberapa masjid atau surau, setelah selesai seorang muadzin adzan, diadakanlah
apa yang disebut “puji-pujian”. Dalam pujian-pujian tersebut banyak dibacakan
shalawat Nabi, di samping berbagai bacaan lain, baik yang diambil dari Al Qur’an
maupun syair-syair. Hal tersebut dilagukan dengan suara keras, selain sebagai
pengertian ibadah juga untuk menanti kedatangan imam. Yang demikian itu banyak
dijumpai, sementara tuntunan dari Rasulullah yang demikian tidak
ada.
c. Contoh
adanya penentuan dan penertiban beberapa bacaan yang dilakukan dalam selamatan
atas kematian seseorang atau lainnya pada pengertian yang bisa disebut dengan
“tahlilan”. Penentuan yang dimaksud dalam hal ini, selain dari penentuan waktu,
seperti pada hari ke 7, ke 40, ke 100, ke 1000 dst, juga penentuan bacaan. Baik
jumlah bilangannya, juga penentuan penertibannya. Namun keterangan Al Qur’an dan
As Sunnah bahwa hal itu untuk amalan sebagaimana dilakukan itu tidak
didapatkan.
Begitulah
yang dimaksud dengan bid’ah idhafiyyah beserta beberapa
contohnya.
Hukum Bid’ah pada
agama dengan segala macamnya (8)
Semua
bid’ah pada agama, hukumnya haram dan sesat. karena sabda Rasulullah
SAW:
“Hendaklah kalian menjauhi perkara-perkara yang diada-adakan, maka
sesungguhnya tiap-tiap yang diada-adakan itu bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah
sesat”.(HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Dan sabda
Nabi SAW:
Artinya:
“Barangsiapa yang mengada-adakan pada perkara kami ini,
sesuatu yang bukan perkara dari kami, maka itu adalah tertolak”. Dan
dalam riwayat lain: “Barangsiapa yang mengamalkan amalan
bukan atas perkara kami, maka yang demikian itu
tertolak”.
Hadits itu
menunjukkan bahwa tiap-tiap sesuatu yang diada-adakan pada agama, maka itu
adalah bid’ah dan tiap-tiap bid’ah adalah sesat dan tertolak. Dan makna yang
demikian, sesungguhnya bid’ah pada ibadah dan i’tiqad , yang itu semua sudah
jelas diharamkannya. Akan tetapi pengharamannya bertingkat-tingkat, sesuai
dengan macam bid’ahnya.
Dianataranya ada yang hukumnya kufur dengan jelas, seperti: thowaf
(keliling) pada kubur dalam bertaqarrub (mendekatkan diri pada Allah), atau
mempersembahkan sembelihan dan nadhar untuk kubur. Dan di antaranya termasuk
sarana wasail syirik. Seperti membangun bangunan di atas kubur, serta shalat dan
berdoa di kuburan.
Dan di antaranya ada yang
fisqu i’tiqadi (keluar dari ketaatan secara keyakinan), seperti bid’ah khawarij
(aliran ekstrim dalam memahami agama, sehingga dosa besar dianggap kafir dsb),
qadariyah (menolak qadha dan qadar Allah dalam setiap usaha manusia) dan
murji’ah (aliran yang mengkemudiankan, yaitu mengkemudiankan amal daripada
iman, yang dipentingkan adalah iman, sedang yang lainnya adalah soal kedua. Amal
menurut mereka bukan bagian esensi dari iman, walau tetap diperlukan) pada
perkataan-perkataan mereka pada i’tiqadinya yang menyimpang terhadap dalil-dalil
syar’i. Dan di antara bid’ah yang termasuk maksiat seperti bid’ah siyam (puasa)
dalam keadaan berdiri pada panas matahari, dan kebiri dengan maksud memutus
syahwat jima’ (bersetubuh).(9)
Demikianlah pengertian
bid’ah, jenis-jenis dan hukumnya. Semua itu wajib dihindari, agar kita terbebas
dari kesesatan. (10).
Catatan:
1. Tanbih Ulil Abshar Ila kamaliddin
wa maa fil bida’ minal Akhthor, Dr Shalih bin Sa’id As-Suhaimi, hal 84.
2. Majmu’ Al-fatawa li Ibn Taimiyyah (18/346).
4. Al-Bid’ah, ta’rifuha, ahwa`uha, ahkamuha, Syaikh Shalih bin fauzan, hal 5.
5. Tanbih Ulil Abshar ila kamaliddin wamaa fil bida` minal akhthar, Dr Shalih bin Sa`d As Suhaimi, hal 100.
6. Ibid hal 93 7. Shahih al-Bukhari ma’al Fath (11/586), Musnad Al-Imam Ahmad (4/168).
8. Al-Bid’ah, ta`rifuha, ahwa`uha, Syaikh Shalih bin Fauzan, hal 7.
9. Lihat Al-I`tisham, As-Syatibi (2/37).
10. Tulisan ini dimodifikasi dari tulisan tangan seorang da’i yang tak menyebutkan namanya, namun isinya bisa dipertanggung jawabkan dan insya Allah bermanfaat.
2. Majmu’ Al-fatawa li Ibn Taimiyyah (18/346).
4. Al-Bid’ah, ta’rifuha, ahwa`uha, ahkamuha, Syaikh Shalih bin fauzan, hal 5.
5. Tanbih Ulil Abshar ila kamaliddin wamaa fil bida` minal akhthar, Dr Shalih bin Sa`d As Suhaimi, hal 100.
6. Ibid hal 93 7. Shahih al-Bukhari ma’al Fath (11/586), Musnad Al-Imam Ahmad (4/168).
8. Al-Bid’ah, ta`rifuha, ahwa`uha, Syaikh Shalih bin Fauzan, hal 7.
9. Lihat Al-I`tisham, As-Syatibi (2/37).
10. Tulisan ini dimodifikasi dari tulisan tangan seorang da’i yang tak menyebutkan namanya, namun isinya bisa dipertanggung jawabkan dan insya Allah bermanfaat.
Tasawuf Belitan Iblis
Oleh: H Hartono Ahmad Jaiz
Kunjungi juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar