Penanya :
Apa pendapat Anda, wahai syaikh,
tentang orang-orang yang tidak memperbolehkan tarahum [1]
kepada orang-orang yang
menyelisihi i'tiqod salaf, seperti an-Nawawi, Ibnu Hajar al-Asqolani,
Ibnu Hazm dan Ibnul Jauzi serta orang-orang yang semisal mereka dari (ulama) salaf?[2]
Juga tokoh-tokoh kholaf
(kontemporer) seperti al-Banna dan Sayyid Quthb, mengingat
Anda telah mengetahui dengan baik apa yang ditulis oleh Hasan al-Banna dalam
bukunya Mudzakkirat ad-Da’wah wa ad-Da’iyyah dan Sayyid Quthb dalam
bukunya Fii Zhilaali al-Qur’an???
Syaikh :
Kami berkeyakinan bahwa rahmat dan
tarahum diperbolehkan bagi seluruh kaum muslimin dan diharamkan bagi
seluruh orang kafir. Jawaban ini merupakan furu’ (cabang) dari
i'tiqod yang dimiliki oleh seseorang. Jadi, barangsiapa yang meyakini
bahwa orang-orang yang disebutkan di dalam pertanyaan tadi adalah muslim, maka
jawabannya adalah telah ma’ruf (diketahui) –sebagaimana yang telah saya
katakan barusan- yaitu boleh mendo’akan : “semoga Alloh merahmati dan
mengampuni mereka”. Dan siapapun yang menganggap bahwa mereka yang
disebutkan di dalam pertanyaan tadi adalah bukan muslim (kafir) –semoga Alloh
tidak mengizinkan hal ini-, maka tarahum tidaklah diperbolehkan, karena
rahmat diharamkan bagi orang kafir. Inilah jawabanku berkenaan dengan apa
yang datang dari pertanyaan tadi.
Penanya :
Namun Syaikh, Mereka
mengatakan bahwa hal ini termasuk bagian dari manhaj salaf, yang mana mereka
tidak melakukan tarahum terhadap mubtadi’ (pelaku bid’ah).
Konsekuensinya, orang-orang yang disebutkan di dalam pertanyaan pertama tadi
dianggap sebagai mubtadi’ dan mereka (para salaf) tidak melakukan
tarahum dengan mereka.
Syaikh :
Kami telah katakan tadi, bahwa
rahmat atau tarahum diperbolehkan bagi setiap muslim dan tidak boleh bagi
seluruh orang kafir. Jika (jawabanku tadi, pent.) ini benar, maka
pertanyaan kedua tadi tidak memiliki dasar (hujjah). Jika ini (jawaban
saya) tidak benar, maka (pertanyaan kedua tadi) memiliki dasar dan bisa
didiskusikan lebih lanjut…
Bukankah mereka yang telah divonis oleh sebagian ulama sebagai
mubtadi’, mereka tetap disholati? Dan termasuk i'tiqod salaf yang
disepakati oleh kholaf adalah, bahwa kita (tetap) menegakkan sholat di
belakang muslim yang shalih sebagaimana pula kita shalat di belakang
muslim yang fajir.[3] Kita juga
menshalati orang yang shalih maupun orang yang fajir. [4]
Adapun orang kafir tidak boleh dishalati.
Adapun orang kafir tidak boleh dishalati.
Oleh karena itu, orang yang disebutkan di dalam pertanyaan tadi,
mau tidak mau, haruslah disebut sebagai ahlul bid’ah.[5] Jadi, haruskah mereka
disholati atau tidak?...
Saya sebenarnya tidak berkeinginan
untuk mendiskusikan hal ini kecuali karena terpaksa. Jika jawabannya adalah
mereka tetap harus disholati, maka jawabannya berhenti sampai di sini,
pembahasan selesai dan tak ada lagi tempat untuk mendiskusikan pertanyaan kedua
tadi. Namun jika (dijawab) tidak boleh mensholatinya, maka kesempatan untuk
diskusi masih terbuka dan dapat dilanjutkan kembali…
[1] Tarahum adalah memohonkan
rahmat bagi orang yang telah meninggal seperti ucapan
rahimahullahu.
[2] Mungkin yang dimaksud penanya adalah
gerakan Haddadiyah yang diusung oleh Abu Muhammad al-Haddad dari Yaman
yang menyebarkan pemahamannya dari semenjak berdirinya hingga saat ini yang
menyusup masuk ke dalam barisan salafiyin. Mereka dikenal sebagai orang
yang fanatik dan ghuluw serta mereka mengklaim dan merasa satu-satunya
yang berada di atas al-Haq, manhaj salafi yang sesungguhnya dan selain mereka
adalah sesat. Di antara ciri mereka sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Rabi’ bin
Hadi hafizhahullahu di dalam risalah ringkasnya yang berjudul
Mumayyizat al-Haddadiyah adalah –dengan beberapa perubahan dan sedikit
tambahan- :
-
Mereka membenci para ulama salafi zaman ini, merendahkan, membodoh-bodohkan, menvonis sesat mereka dan melakukan kedustaan atas nama mereka.
-
Mereka berpendapat bahwa siapa saja yang jatuh ke dalam kebid’ahan maka ia adalah mubtadi’. Oleh karena itu an-Nawawi, Ibnu Hajar, Ibnul Jauzi, Abu Hanifah dan selain mereka –rahimahumullahu jami’an- menurut mereka adalah mubtadi’ yang sesat.
-
Mereka mentabdi’ (menvonis bid’ah) siapa saja yang tidak turut mentabdi’ orang-orang jatuh ke dalam kebid’ahan. Menurut mereka tidak cukup mengatakan, “pada diri fulan ada faham asy’ariyah” namun harus mengatakan “mubtadi’” atau apabila tidak, maka akan diperangi, dihajr, dan dibid’ahkan orang yang tidak mau melakukannya.
-
Mereka mengharamkan tarahum (mendoakan rahmat) kepada ahlul bid’ah secara mutlak, baik rafidhi, qodari, jahmi maupun seorang ‘alim yang tergelincir ke dalam kebid’ahan.
-
Mereka mentabdi’ siapa saja yang bertarahum kepada orang-orang semisal asy-Syaukani, Abu hanifah, Ibnul Jauzi, Ibnu Hajar dan lain lain –rahimahumullahu-
-
Ta’ashshub al-a’maa (fanatic buta) dan ghuluw di dalam memuji dan membela tokoh-tokoh mereka.
-
Mudah mencela dan mengumbar makian terhadap siapa saja yang menyelisihi mereka.
-
Membakar dan merusakkan buku-buku para ulama yang menurut mereka menyimpang dan sesat.
Syaikh Salim
al-Hilali dan Syaikh Muhammad Musa rahimahumallahu telah melansir
akan menyusupnya faham ini di barisan para pemuda salafiyin tanpa mereka sadari.
Dan siapa saja yang terdapat padanya tanda-tanda (alamat) sebagaimana
disebutkan di atas, maka dirinya telah tersusupi oleh faham haddadiyah
dan hal ini adalah suatu kenyataan yang terdapat di
lapangan.[3]. Berkata asy-Syaikh Abdul Qodir
al-Arna’uth rahimahullahu di dalam al-Wajiz fi Manhajis Salaf
: “Termasuk diantara aqidah salaf adalah, sholat boleh di belakang setiap
orang yang baik maupun yang fajir selama zhahirnya masih benar…” kemudian
beliau berkata pada akhir risalah : “Inilah Aqidah Salaf Sholih yang telah
disepakati oleh sejumlah besar para ulama, diantaranya adalah Abu Ja’far
ath-Thahawi, yang telah disyarah aqidahnya oleh Ibnu Abil Izz
al-Hanafi salah seorang murid Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, yang dinamakan
dengan Syarh Aqidah ath-Thahawiyah. Diantara mereka juga Abul Hasan
al-Asy’ari di dalam kitabnya al-Ibanah ‘an Ushulid
Diyaanah, yang di dalamnya terhimpun aqidah beliau yang
terakhir. Termasuk pula tulisan tentang aqidah salafus shalih adalah apa yang
ditulis oleh Ash-Shabuni dalam kitabnya Aqidah Salaf Ashabul
hadits,
dan juga diantaranya adalah Muwafiquddin Abu Qudamah al-Maqdisy
al-Hanbali dalam kitabnya Lum’atul I’tiqod al-Haadi ila Sabilir
Rosyad,
dan selain mereka dari para ulama yang mulia. Semoga Allah membalas mereka semua
dengan kebaikan”[4]. Berkata al-Imam al-Mubajjal Ahmad bin
Hanbal rahimahullahu di dalam Ushulus Sunnah, poin terakhir,
“Dan barangsiapa yang meninggal dari ahli kiblat yang muwahid
(mentauhidkan Alloh) maka dia disholati, dimohonkan ampunan atasnya, dan kami
tidak meninggalkan sholat atasnya dikarenakan dosa-dosa yang dilakukannya baik
besar maupun kecil dan urusannya adalah diserahkan kepada Alloh Azza wa
Jalla” (lihat : Aqo’id A`immatis Salaf, penghimpun : Ahmad Fawwaz
Zamroli, Darul Kutub al-‘Arobi, cet. I, 1415 H, Beirut, hal. 36-37), Beliau
juga berkata di dalam as-Sunnah allati tufiya ‘anha Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam pada poin ke-6 : “Dan mensholati siapa saja
yang meninggal dari ahli kitab” (lihat : idem, hal, 38). Dan hal ini
merupakan kesepakatan para ulama salaf.
[5]. Bukanlah maksud Syaikh di sini menyetujui pendapat mereka bahwa orang-orang yang disebut di pertanyaan pertama tadi seluruhnya adalah ahlul bid’ah. Namun syaikh di sini berusaha menunjukkan pengingkaran akan madzhab baru yang mengharamkan tarahum ini kepada muslim yang telah meninggal.
[5]. Bukanlah maksud Syaikh di sini menyetujui pendapat mereka bahwa orang-orang yang disebut di pertanyaan pertama tadi seluruhnya adalah ahlul bid’ah. Namun syaikh di sini berusaha menunjukkan pengingkaran akan madzhab baru yang mengharamkan tarahum ini kepada muslim yang telah meninggal.
HAKIKAT BID’AH & KUFUR
Tanya Jawab Bersama :
MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAHU
Kunjungi juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar