Sabtu, 05 September 2015

Puasa Meningkatkan Diri dari Beriman Menjadi Bertaqwa, Mengapa?

Judul di atas itu tentu sudah jelas, yakni menyangkut hikmah puasa. Kita mulai dengan Firman Allah dalam Al Quran, S. Al Baqarah, ayat 185: Ya- ayyuhalladziyna a-manuw kutiba 'alaikumu.shshiya-mu kama- kutiba 'ala lladziyna min qablikum la'allakum tattaquw0n, artinya: Hai orang-orang beriman, diwajibkan atasmu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelummu, mudah-mudahan kamu bertaqwa. 

Jadi jelas dari bunyi ayat tersebut, bahwa puasa itu dapat meningkatkan orang beriman menjadi bertaqwa. Mengapa? Dari jawaban mengapa ini, akan jelas apa hikmah yang tersirat di dalamnya. Taqwa adalah bahasa Al Quran, dibentuk oleh akar kata yang terdiri atas tiga huruf: waw, qaf, ya, yaitu waqa- atau waqiya, atinya waspada, memelihara diri, menghindarkan diri, menjaga diri. Orang yang telah mencapai derajat taqwa, adalah yang telah terpelihara dari segala apa-apa yang menjerumuskan. Ibarat orang yang berjalan melalui semak belukar yang penuh duri, sampai-sampai kepada pakaiannyapun terpelihara dari robekan / tusukan duri. Atau ibarat oang yang menerobos lalu-lintas yang semrawut / crowded, terpelihara dari bahaya tabrakan. Bertaqwa kepada Allah ialah menjaga diri sehingga terpelihara dari melanggar larangan Allah SWT, terpelihara dari hambatan untuk melaksanakan perintah Allah SWT. Bertaqwa (tattaquwn, yattaquwn) adalah fi'il (kata kerja) melaksanakan seluruh suruhan Allah dan menjauhi segala laranganNya. 

Menurut Karl Marx, moral manusia itu ditentukan oleh kondisi perekonomian, artinya moral manusia itu ditentukan oleh lingkungannya. Manusia sama sekali tidak berdaya terhadap lingkungannya. Artinya manusia itu adalah budak dari lingkungannya. Walaupun komunisme telah ambruk seiring dengan bubarnya Uni Sovyet, namun faham Karl Marx, yang dedengkot komunisme tersebut, masih banyak dianut orang. Yaitu orang yang masih setia kepada apa yang disebut dengan wetensdhappelijke socialisme, sosialisme ilmu. Dahulu di Indonesia ini ada tiga kelompok Marxisme. Yang pertama penganut sosialisme ilmu, yang berkumpul dalam kekuatan politik Partai Sosialis Indonesia (PSI), kedua Marxisme-Trozkist berkumpul dalam Partai Murba dan Marxisme-Leninist berkumpul dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Menurut Sigmun Freud (diucapkan froid), yang dedengkot psiko-analist, manusia sama sekali tak berdaya terhadap kekuatan yang ada dalam dirinya yaitu kekuatan libido berkarakteristik seksual. Semua pikiran dan aktivitas manusia bersumber dari dorongan kekuatan libido ini. Artinya manusia itu adalah budak dari libido yang ada dalam dirinya. 

Maka jika digabungkan kedua teori itu, teori Karl Marx dan Sigmun Freud, yang keduanya peranakan Jerman-Yahudi, maka sempurnalah manusia itu menjadi budak. Ya budak internal dan budak external. Manusia betul-betul menjadi bulan-bulanan kekuatan libido dan kekuatan lingkungan. 

Ajaran Islam tidak mengingkari kedua kekuatan tersebut. Namun dalam ajaran Islam kekuatan-kekuatan itu bukanlah penentu. Manusia bukanlah budak, ataupun bulan-bulanan kedua kekuatan internal dan external itu. Pada waktu Pasukan Islam Madinah pulang dari Perang Uhud yang seru itu, ketika Rasulullah mengistirahatkan pasukannya dalam perjalanan pulang itu, Rasulullah bersabda: Kita baru selesai dengan Jihadu lAshgar, perang yang sangat kecil dan kita segera akan menghadapi Jihadu lAkbar, perang yang sangat besar. Maka para sahabat bertanya: Ya RasulaLlah, kalau tadi di bukit Uhud itu hanya perang yang sangat kecil, maka bagaimakanakah besarnya pasukan yang akan dihadapi itu. Maka Rasulullah menjawab: Jiha-du nNafs, berjihad melawan diri sendiri. Musuh yang akan dihadapi itu adalah musuh yang setiap saat menyerang kita yaitu Al Hawa- , Nafsun Amma-rah dalam tataran nafsani (manusia terdiri atas tiga tataran: jasmani, nafsani, ruhani). Dari sabda Rasulullah itu kita dapat menyimak bahwa Allah SWT menjadikan manusia itu dengan perlengkapan sebuah kekuatan pengendali yang sanggup dipakai untuk berperang dalam peperangan dahsyat Jihadu lAkbar itu. Kekuatan pengendali inilah yang tidak dilihat baik oleh Karl Marx, maupun Sigmun Freud, sehingga mereka berteori bahwa lingkungan dan libido itu menjadi penentu. Dalam bahasa Al Quran, kekuatan pengendali itu disebut Nafsun Muthmainnah. 

Ibadah puasa sifatnya berbeda dengan ke empat Rukun Islam yang lain. Kalimah Syahadatain diucapkan dimulut, dibenarkan oleh pikiran dan dimantapkan di qalbu, sifatnya terbuka, karena diucapkan, orang lain dapat mendengarnya. Shalat juga sifatnya terbuka, karena teridiri atas gerakan dan ucapan, dapat dilihat dan didengar. Mengeluarkan zakat, naik haji juga terdiri atas gerakan dan ucapan sehingga juga sifatnya terbuka. Jadi Rukun Islam pertama, kedua, ketiga dan kelima dapat saja dikerjakan atas dasar riya, penampilan, tidak atas dasar iman. Seorang pemuda misalnya untuk dapat menarik hati calon mertua yang taat, ia akan shalat penampilan, memperlihatkan kepada calon mertua bahwa ia shalat, jadi bukan atas dasar iman. Seorang jurkam ia dapat saja shalat untuk menarik massa, bukan atas dasar iman. Seorang naik haji dapat saja bukan atas dasar iman, melainkan untuk status sosial. Lain halnya dengan Rukun Islam yang keempat ini, yaitu puasa. Ibadah puasa ini sifatnya tertutup, tidak dapat ditunjukkan kepada orang lain. Yang dapat ditunjukkan kepada orang adalah berbuka puasa dan berpura-pura loyo atau meludah-ludah secara demonstratif. Maka puasa itu hanya dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman, karena yang tahu bahwa ia berpuasa hanya dirinya sendiri dan Allah SWT. 

Karena puasa itu tidak dapat dilaksanakan atas dasar penampilan, maka puasa itu betul-betul sangat bermanfaat untuk melatih diri meningkatkan keampuhan tenaga pengendali dalam diri kita. Ibarat mengasah senjata sebulan penuh sehingga cukup tajam buat dipakai untuk Jiha-du lAkbar. Mengendalikan, bukan membunuh, sebab Al Hawa- , Nafsun Amma-rah, (dorongan seksual dan kemarahan) itu berguna untuk kelanjutan spesi manusia, berkembang biak, dan mempertahankan hidup dari keganasan lingkungan. 

Sebulan penuh kita melatih diri meningkatkan keampuhan senjata berupa kekuatan pengendali itu. Dengan latihan sebulan penuh itu dapatlah senjata itu dipakai untuk berperang sebelas bulan berikutnya. Hingga tiba kembali ke dalam bulan Ramadhan yang brukutnya, senjata yang mulai tumpul karena dipakai berperang selama sebelas bulan, diasah lagi dalama bulan Ramadhan yang berkutnya. Dengan tajamnya alat yang diberikan oleh Allah SWT maka terpeliharalah diri kita dari segala apa yang menjerumuskan dan itulah yang disebut mencapai kedudukan taqwa, insya Allah. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b. 

*** Makassar, 8 Maret 1992 [H.Muh Nur Abdurrahman] 



KUMPULAN TULISAN H.M. NUR ABDURRAHMAN
(Dari Kolom Tetap Harian FAJAR bertajuk "Wahyu dan Akal - Iman dan Ilmu")

Kunjungi juga:

Teknologi, dari Alat Menjadi Tujuan?

Secara gampangnya, teknologi adalah suatu proses yang memberikan nilai tambah suatu barang / komoditi. Mengubah gabah menjadi beras yang sudah punya nilai tambah, itulah teknologi. Di dalam kita berkomunikasi sehari-hari, pemakaian istilah teknologi menjadi rancu. Barang / komoditi yang telah mempunyai nilai tambah sebagai hasil teknologi, disebut dengan teknologi juga. Teknologi diartikan sekali gus sebagai proses dan output / hasil. Namun kalau disimak, tidak seluruhnya salah. Mesin penggiling padi misalnya adalah hasil teknologi, diproses dari bungkahan ataupun lembaran logam. Pada gilirannya, mesin penggiling padi sebagai hasil teknologi dipakai pula untuk memproses gabah menjadi beras. Jadi teknologi mesin penggiling padi ini adalah sekaligus hasil dan proses. Demikian pula truk misalnya adalah hasil teknologi. Namun truk ini dapat memberikan jasa, dengan jalan memproses pemindahan komoditi dari pedalaman ke pasar. Komoditi yang sudah di pasar mempunyai nilai tambah ketimbang komoditi yang masih ada di pedalaman. Jadi juga dalam hal ini teknologi truk adalah sekali gus pula sebagai hasil dan proses. Makin canggih teknologi, akan menghasilkan barang yang juga makin tinggi nilai tambahnya. Bungkahan dan keping logam misalnya. yang diproses dengan teknologi canggih menjadi kapal terbang yang tinggi pula nilai tambahnya. 

Semua luaran SMA pada dasarnya secara akademik berhak untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Namun keinginan untuk melanjutkan ini tidak sesuai dengan kenyataan, oleh karena terbatasnya daya tampung di Perguruan Tinggi. Sebab itu mereka harus dirank (tanpa ing, sebab kata rank hanya dalam bentuk noun dan ajective, bukan verb), melalui apa yang disebut dengan (U)jian (M)asuk (P)erguruan (T)inggi (N)egeri, nama mantannya adalah Sipenmaru (tidak ada hubungannya dengan nama kapal). Supaya pekerjaan anak-anak itu dapat diperiksa oleh komputer, maka soal-soal UMPTN harus dijawab dengan pilihan ganda, multiple choice. Sebabnya ialah komputer tidak mampu untuk memeriksa pekerjaan proses jalannya soal. Seorang anak yang salah menandai angka atau tidak menandai sama sekali jawaban pilihan ganda itu, belum tentu tidak tahu seluk beluknya memecahkan soal, artinya jalan pemecahannya betul, anak mengerti, cuma terjadi salah hitung. Dan sebaliknya anak yang menandai / memilih jawaban angka yang betul, belum tentu dapat memecahkan soal, hanya kebetulan menerka dengan coba-coba saja, atau mendapatkan kode jawaban dari jokinya, nama mantannya ujung tombak. Kesimpulannya, demi untuk dapat diperiksa oleh kompueter, akibatnya adalah diragukan tentang absahnya UMPTN sebagai alat seleksi. Artinya, demi komputer, tujuan UMPTN tidak tercapai, bahkan timbul efek sampingan yang akibatnya tidak menjadi sampingan lagi, karena sangat memusingkan, yaitu timbulnya lapangan kerja baru, joki. Maka dalam kasus UMPTN ini, teknologi sudah digeser dari alat menjadi tujuan. 

Bagaimana caranya supaya teknologi komputer dapat tetap menjadi alat, dan UMPTN mencapai hasil dan tidak timbul joki? Jawabannya adalah soal-soal bukan sistem pilihan ganda, proses jalannya pemecahan soal diperiksa secara tersebar di Perguruan-Perguruan tinggi oleh para dosen dari Perguruan Tinggi itu masing-masing. 

Ada pula hikmahnya yakni dalam UMPTN yang demikian itu terjadi pula pemerataan pembagian rezeki berupa honorarium memeriksa. Dan hikmahnya yang lain tidak mungkin timbul profesi joki, karena sangatlah sulit untuk mengkomunikasikan proses jalannya soal-soal yang cukup panjang, tak mungkin disampaikan dengan mempergunakan kode. Adapun komputer hanya dipakai dalam menyusun rank hasil pemeriksaan para dosen, sehingga dalam hal ini teknologi komputer sudah betul-betul menjadi alat dan bukan sebagai tujuan lagi. 

Walhasil penggunaan teknologi ibarat makan dan minum jangan berlebihan. Sebab Allah tidak mencintai orang yang berlebih-lebihan. Wa laa tusrifuw, innahu- laa yuhibbu lmusrifien. Artinya, janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya Dia, Allah, tidak mencintai orang yang berlebih-lebihan. (S. Al A'raaf, 31). WaLlahu a'lamu bishshawab. 

*** Makassar, 29 Desember 1991 [H.Muh.Nur Abdurrahman]



KUMPULAN TULISAN H.M. NUR ABDURRAHMAN
(Dari Kolom Tetap Harian FAJAR bertajuk "Wahyu dan Akal - Iman dan Ilmu")

Kunjungi juga:

Peranan Wahyu dan Akal dalam Kehidupan

Makhluk ciptaan Allah SWT di alam syahadah ini, seperti apa yang dapat kita amati, dapat digolongkan dalam jenis-jenis: batu-batuan/mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia. Allah SWT sebagai ArRabb mengatur alam syahadah dengan hukum-hukumNya untuk mengendalikan berjenis-jenis ciptaanNya itu. Allah sebagai ArRabb (Maha Pengatur) mengendalikan alam semesta dengan hukum-hukumNya yang hingga kini baru dikenal oleh manusia sebagai: medan gravitasi, medan elektromagnet, gaya kuat dan gaya lemah. 

Medan gravitasi utamanya mengontrol makrokosmos, mengendalikan bintang-bintang. Ketiga jenis yang lain mengontrol mikrokosmos. Medan elektromagnet mengontrol pasangan proton (bermuatan +) dengan elektron (bermuatan -). Proton-proton dalam inti atom yang saling tolak karena bermuatan sama, "direkat" oleh gaya kuat. Sedangkan gaya lemah menyebabkan inti atom seperti misalnya Thorium dan Uranium tidak stabil menjadi "lapuk" terbelah dengan mengeluarkan sinar radioaktif, sehingga Thorium dan Uranium disebut pula zat radioaktif.

Di samping ke-4 jenis itu hukum Allah mengendalikan pula tumbuh-tumbuhan dengan kekuatan bertumbuh dan berkembang biak; kekuatan bertumbuh itu dapat melawan kekuatan gravitasi yaitu bertumbuh ke atas melawan tarikan gravitasi ke bawah. Adapun pada binatang ditambah pula lagi dengan kekuatan naluri dengan perlengkapan pancaindera. Dengan kekuatan naluri dan perlengkapan pancaindera itu binatang dapat bergerak ke mana saja menurut kemauannya atas dorongan nalurinya.

***

Allah meniupkan ruh ke dalam diri manusia, yang tidak diberikanNya kepada makhluq bumi yang lain. Karena manusia mempunyai ruh, ia mempunyai kekuatan ruhaniyah yaitu akal. Dengan akal itu manusia mempunyai kesadaran akan wujud dirinya. Dengan otak sebagai mekanisme, akal manusia dapat berpikir dan dengan qalbu (hati nurani) sebagai mekanisme akal manusia dapat merasa. Allah menciptakan manusia dalam keadaan, "fiy ahsani taqwiym" (95:4), sebaik-baik kejadian.

Kemampuan akal untuk berpikir dan merasa bertumbuh sesuai dengan pertumbuhan diri manusia. Agar manusia dapat mempergunakan akalnya untuk berpikir dan merasa, ia perlu mendapatkan informasi dan pengalaman hidup. Mutu hasil pemikiran dan renungan akal tergantung pada jumlah, mutu dan jenis informasi yang didapatkannya dan dialaminya. Ilmu eksakta, non-eksakta, ilmu filsafat adalah hasil olah akal dengan mekanisme otak. Kesenian dan ilmu tasawuf adalah hasil olah akal dengan qalbu sebagai mekanisme.

Hasil pemikiran dan renungan anak tammatan SMA lebih bermutu ketimbang hasil pemikiran anak tammatan SD, karena anak tammatan SMA lebih besar jumlah, lebih bermutu dan lebih beragam jenis informasi yang diperolehnya dan pengalaman yang dialaminya. Jadi kemampuan akal manusia itu relatif sifatnya, baik dalam hal evolusi pertumbuhan mekanisme otak dan qalbunya, maupun dalam hal jumlah, mutu dan ragam informasi yang diperolehnya dan dialaminya. Dengan demikian akan relatif juga, baik untuk memikirkan pemecahan masalah, maupun untuk merenung baik buruknya sesuatu.

Oleh karena akal manusia itu terbatas, Allah Yang Maha Pengatur (ArRabb) memberikan pula sumber informasi berupa wahyu yang diturunkan kepada para Rasul yang kemudian disebar luaskan kepada manusia. Nabi Muhammad RasuluLlah SAW adalah nabi dan rasul yang terakhir. Setelah beliau, Allah tidak lagi menurunkan wahyu. Dalam shalat kita minta kepada Allah: Ihdina shShira-tha lMustqiym (1:6), tuntunlah kami ke jalan yang lurus. Maka Allah menjawab: Alif, Lam, Mim. Dza-lika lKita-bu la- Rayba fiyhi Hudan lilMuttaqiyn (s. alBaqarah, 1-2), inilah kitab tak ada keraguan dalamnya penuntun bagi Muttaqiyn (s. Sapi betina, 2:1-2). Al Quran yang tak ada keraguan dalamnya memberikan informasi kepada manusia tentang perkara-perkara yang manusia tidak sanggup mendapatkannya sendiri dengan kekuatan akalnya: 'Allama lInsa-na Ma-lam Ya'lam (s. al'Alaq, 5), (Allah) mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.

Kebenaran mutlak (Al Haqq) tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia dengan kekuatan akalnya. Kebenaran mutlak tidak mungkin diperoleh dengan upaya pemikiran mekanisme otak yang berwujud filsafat. Juga kebenaran mutlak tidak dapat dicapai manusia dengan upaya renungan mekanisme qalbu dalam wujud tasawuf. Al Haqq tidak dapat dicapai melalui filsafat ataupun tasawuf. Al Haqqu min rabbikum (s. alKahf, 29), artinya Al Haqq itu dari Rabb kamu (s. Gua 18:29). Alam ghaib juga tidak mungkin diketahui manusia dengan kekuatan akalnya. Filsafat dan tasawuf tidak mungkin dapat menyentuh alam ghaib.

Demikianlah tolok ukur produk pemikiran dan renungan yang berupa filsafat dan tasawuf itu adalah: "Dza-lika lKita-bu la- Rayba fiyhi Hudan lilMuttaqiyn". Filsafat dan tasawuf harus dibingkai oleh Al Quran dan Hadits shahih, sebab kalau tidak demikian, maka filsafat dan tasawuf itu menjadi liar. Sungguh-sungguh suatu keniscayaan, para penganut dan pengamal filsafat dan tasawuf tanpa kendali itu menjadi sesat. Terjadilah fenomena yang naif, lucu, tetapi mengibakan, yaitu antara lain filosof itu berimajinasi tentang pantheisme, sufi itu ber"kasyaf" terbuka hijab, merasa bersatu dengan Allah. Adapun indikator penganut dan pengamal filsafat dan tasawuf tanpa kendali itu, adalah upaya yang sia-sia untuk mempersatukan segala agama. Inilah yang selalu kita mohonkan kepada Allah SAW setiap shalat, agar tidak terperosok ke dalam golongan "Dha-lluwn", kaum sesat.

Hudan lilMuttaqiyn", demikianlah wahyu itu menuntun akal para Muttaqiyn untuk berolah akal, yaitu berpikir/berfilsafat dan merasa/bertasawuf. Akal harus ditempatkan di bawah wahyu dan ilmu filsafat serta ilmu tasawuf harus ditempatkan di bawah iman, singkatnya wahyu di atas akal dan iman di atas ilmu. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 20 Oktober 1991 [H.Muh.Nur Abdurrahman]



KUMPULAN TULISAN H.M. NUR ABDURRAHMAN
(Dari Kolom Tetap Harian FAJAR bertajuk "Wahyu dan Akal - Iman dan Ilmu")

Kunjungi juga:


Pendahuluan


الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعد

stilah “sufi” atau “tasawuf” tentu sangat dikenal di kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat awam, istilah ini sangat diagungkan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas orang awam beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawuf, berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu di tangan dan bibir yang selalu bergerak melafazkan zikir, yang semua ini semakin menambah keyakinan orang-orang awam bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat wali (kekasih) Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebelum kami membahas tentang hakikat tasawuf yang sebenarnya, kami ingin mengingatkan kembali bahwa penilaian benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan cuma dilihat dari pengakuan lisan atau penampilan lahir semata, akan tetapi yang menjadi barometer adalah sesuai tidaknya pemahaman tersebut dengan Al Quran dan As Sunnah menurut apa yang dipahami salafush shalih. Sebagai bukti akan hal ini kisah khawarij, kelompok yang pertama menyempal dalam islam yang diperangi oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah pimpinan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berdasarkan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal kalau kita melihat pengakuan lisan dan penampilan lahir kelompok khawarij ini maka tidak akan ada seorang pun yang menduga bahwa mereka menyembunyikan penyimpangan dan kesesatan yang besar dalam batin mereka, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menjelaskan ciri-ciri kelompok khawarij ini, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“…Mereka (orang-orang khawarij) selalu mengucapkan (secara lahir) kata-kata yang baik dan indah, dan mereka selalu membaca Al Quran tapi (bacaan tersebut) tidak melampaui tenggorokan mereka (tidak masuk ke dalam hati mereka)…” (HSR Imam Muslim 7/175 – Syarh An Nawawi, cet. Darul Qalam, dari ‘Ali bin Abi Thalib rodhiallahu ‘anhu).
Dan dalam riwayat yang lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“…Bacaan Al Quran kalian (wahai para sahabatku) tidak ada artinya jika dibandingkan dengan bacaan Al Quran mereka, (demikian pula) shalat kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan shalat mereka, (demikian pula) puasa kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan puasa mereka.” (HSR Imam Muslim 7/175 – Syarh An Nawawi, cet. Darul Qalam, dari ‘Ali bin Abi Thalib rodhiallahu ‘anhu)
Maka pada hadits yang pertama Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang ciri-ciri mereka yang selalu mengucapkan kata-kata yang baik dan indah tapi cuma di mulut saja dan tidak masuk ke dalam hati mereka, dan pada hadits yang ke dua Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan tentang penampilan lahir mereka yang selalu mereka tampakkan untuk memperdaya manusia, yaitu kesungguhan dalam beribadah yang bahkan sampai kelihatannya melebihi kesungguhan para Sahabat radhiallahu ‘anhum dalam beribadah (karena memang para Sahabat radhiallahu ‘anhum berusaha keras untuk menyembunyikan ibadah mereka karena takut tertimpa riya).
Yang kemudian prinsip ini diterapkan dengan benar oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, sahabat yang meriwayatkan hadits di atas, tatkala kelompok khawarij keluar untuk memberontak dengan satu slogan yang mereka elu-elukan: “Tidak ada hukum selain hukum Allah ‘Azza wa Jalla .” Maka Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menanggapi slogan tersebut dengan ucapan beliau radhiallahu ‘anhu yang sangat masyhur -yang seharusnya kita jadikan sebagai pedoman dalam menilai suatu pemahaman- yaitu ucapan beliau radhiallahu ‘anhu: “(slogan mereka itu) adalah kalimat (yang nampaknya) benar tetapi dimaksudkan untuk kebatilan.”
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla  merahmati Imam Abu Muhammad Al Barbahari yang mengikrarkan prinsip ini dalam kitabnya Syarhus Sunnah dengan ucapan beliau : “Perhatikan dan cermatilah –semoga Allah ‘Azza wa Jalla  merahmatimu- semua orang yang menyampaikan satu ucapan/pemahaman di hadapanmu, maka jangan sekali-kali kamu terburu-buru untuk membenarkan dan mengikuti ucapan/pemahaman tersebut, sampai kamu tanyakan dan meneliti kembali: Apakah ucapan/pemahaman tersebut pernah disampaikan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam radhiallahu ‘anhum atau pernah disampaikan oleh ulama Ahlusunnah? Kalau kamu dapati ucapan/pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman mereka radhiallahu ‘anhu berpegang teguhlah kamu dengan ucapan/pemahaman tersebut, dan janganlah (sekali-kali) kamu meninggalkannya dan memilih pemahaman lain, sehingga (akibatnya) kamu akan terjerumus ke dalam neraka!” (Syarhus Sunnah, tulisan Imam Al Barbahari hal.61, tahqiq Syaikh Khalid Ar Radadi).
Setelah prinsip di atas jelas, sekarang kami akan membahas tentang hakikat tasawuf, agar kita bisa melihat dan menilai dengan jelas benar atau tidaknya ajaran tasawuf ini.

HAKIKAT TASAWUF
Oleh :Ustadz Abdullah Taslim, Lc.
(Mahasiswa S2 Pasca Sarjana Universitas Islam Madinah)

Kunjungi juga:


Hukum Mengucapkan "Fulan Rahimahullah"

Penanya :
Apa pendapat Anda, wahai syaikh, tentang orang-orang yang tidak memperbolehkan tarahum [1] kepada orang-orang yang menyelisihi i'tiqod salaf, seperti an-Nawawi, Ibnu Hajar al-Asqolani, Ibnu Hazm dan Ibnul Jauzi serta orang-orang yang semisal mereka dari (ulama) salaf?[2] Juga tokoh-tokoh kholaf (kontemporer) seperti al-Banna dan Sayyid Quthb, mengingat Anda telah mengetahui dengan baik apa yang ditulis oleh Hasan al-Banna dalam bukunya Mudzakkirat ad-Da’wah wa ad-Da’iyyah dan Sayyid Quthb dalam bukunya Fii Zhilaali al-Qur’an???
Syaikh :
Kami berkeyakinan bahwa rahmat dan tarahum diperbolehkan bagi seluruh kaum muslimin dan diharamkan bagi seluruh orang kafir. Jawaban ini merupakan furu’ (cabang) dari i'tiqod yang dimiliki oleh seseorang. Jadi, barangsiapa yang meyakini bahwa orang-orang yang disebutkan di dalam pertanyaan tadi adalah muslim, maka jawabannya adalah telah ma’ruf (diketahui) –sebagaimana yang telah saya katakan barusan- yaitu boleh mendo’akan : “semoga Alloh merahmati dan mengampuni mereka”. Dan siapapun yang menganggap bahwa mereka yang disebutkan di dalam pertanyaan tadi adalah bukan muslim (kafir) –semoga Alloh tidak mengizinkan hal ini-, maka tarahum tidaklah diperbolehkan, karena rahmat diharamkan bagi orang kafir. Inilah jawabanku berkenaan dengan apa yang datang dari pertanyaan tadi.
Penanya :
Namun Syaikh, Mereka mengatakan bahwa hal ini termasuk bagian dari manhaj salaf, yang mana mereka tidak melakukan tarahum terhadap mubtadi’ (pelaku bid’ah). Konsekuensinya, orang-orang yang disebutkan di dalam pertanyaan pertama tadi dianggap sebagai mubtadi’ dan mereka (para salaf) tidak melakukan tarahum dengan mereka.
Syaikh :
Kami telah katakan tadi, bahwa rahmat atau tarahum diperbolehkan bagi setiap muslim dan tidak boleh bagi seluruh orang kafir. Jika (jawabanku tadi, pent.) ini benar, maka pertanyaan kedua tadi tidak memiliki dasar (hujjah). Jika ini (jawaban saya) tidak benar, maka (pertanyaan kedua tadi) memiliki dasar dan bisa didiskusikan lebih lanjut…
Bukankah mereka yang telah divonis oleh sebagian ulama sebagai mubtadi’, mereka tetap disholati? Dan termasuk i'tiqod salaf yang disepakati oleh kholaf adalah, bahwa kita (tetap) menegakkan sholat di belakang muslim yang shalih sebagaimana pula kita shalat di belakang muslim yang fajir.[3] Kita juga menshalati orang yang shalih maupun orang yang fajir. [4]
Adapun orang kafir tidak boleh dishalati.
Oleh karena itu, orang yang disebutkan di dalam pertanyaan tadi, mau tidak mau, haruslah disebut sebagai ahlul bid’ah.[5] Jadi, haruskah mereka disholati atau tidak?...
Saya sebenarnya tidak berkeinginan untuk mendiskusikan hal ini kecuali karena terpaksa. Jika jawabannya adalah mereka tetap harus disholati, maka jawabannya berhenti sampai di sini, pembahasan selesai dan tak ada lagi tempat untuk mendiskusikan pertanyaan kedua tadi. Namun jika (dijawab) tidak boleh mensholatinya, maka kesempatan untuk diskusi masih terbuka dan dapat dilanjutkan kembali…


[1] Tarahum adalah memohonkan rahmat bagi orang yang telah meninggal seperti ucapan rahimahullahu.
[2] Mungkin yang dimaksud penanya adalah gerakan Haddadiyah yang diusung oleh Abu Muhammad al-Haddad dari Yaman yang menyebarkan pemahamannya dari semenjak berdirinya hingga saat ini yang menyusup masuk ke dalam barisan salafiyin. Mereka dikenal sebagai orang yang fanatik dan ghuluw serta mereka mengklaim dan merasa satu-satunya yang berada di atas al-Haq, manhaj salafi yang sesungguhnya dan selain mereka adalah sesat. Di antara ciri mereka sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi hafizhahullahu di dalam risalah ringkasnya yang berjudul Mumayyizat al-Haddadiyah adalah –dengan beberapa perubahan dan sedikit tambahan- :
  1. Mereka membenci para ulama salafi zaman ini, merendahkan, membodoh-bodohkan, menvonis sesat mereka dan melakukan kedustaan atas nama mereka.
  2. Mereka berpendapat bahwa siapa saja yang jatuh ke dalam kebid’ahan maka ia adalah mubtadi’. Oleh karena itu an-Nawawi, Ibnu Hajar, Ibnul Jauzi, Abu Hanifah dan selain mereka –rahimahumullahu jami’an- menurut mereka adalah mubtadi’ yang sesat.
  3. Mereka mentabdi’ (menvonis bid’ah) siapa saja yang tidak turut mentabdi’ orang-orang jatuh ke dalam kebid’ahan. Menurut mereka tidak cukup mengatakan, “pada diri fulan ada faham asy’ariyah” namun harus mengatakan “mubtadi’” atau apabila tidak, maka akan diperangi, dihajr, dan dibid’ahkan orang yang tidak mau melakukannya.
  4. Mereka mengharamkan tarahum (mendoakan rahmat) kepada ahlul bid’ah secara mutlak, baik rafidhi, qodari, jahmi maupun seorang ‘alim yang tergelincir ke dalam kebid’ahan.
  5. Mereka mentabdi’ siapa saja yang bertarahum kepada orang-orang semisal asy-Syaukani, Abu hanifah, Ibnul Jauzi, Ibnu Hajar dan lain lain –rahimahumullahu-
  6. Ta’ashshub al-a’maa (fanatic buta) dan ghuluw di dalam memuji dan membela tokoh-tokoh mereka.
  7. Mudah mencela dan mengumbar makian terhadap siapa saja yang menyelisihi mereka.
  8. Membakar dan merusakkan buku-buku para ulama yang menurut mereka menyimpang dan sesat.
Syaikh Salim al-Hilali dan Syaikh Muhammad Musa rahimahumallahu telah melansir akan menyusupnya faham ini di barisan para pemuda salafiyin tanpa mereka sadari. Dan siapa saja yang terdapat padanya tanda-tanda (alamat) sebagaimana disebutkan di atas, maka dirinya telah tersusupi oleh faham haddadiyah dan hal ini adalah suatu kenyataan yang terdapat di lapangan.[3]. Berkata asy-Syaikh Abdul Qodir al-Arna’uth rahimahullahu di dalam al-Wajiz fi Manhajis Salaf : “Termasuk diantara aqidah salaf adalah, sholat boleh di belakang setiap orang yang baik maupun yang fajir selama zhahirnya masih benar…” kemudian beliau berkata pada akhir risalah : “Inilah Aqidah Salaf Sholih yang telah disepakati oleh sejumlah besar para ulama, diantaranya adalah Abu Ja’far ath-Thahawi, yang telah disyarah aqidahnya oleh Ibnu Abil Izz al-Hanafi salah seorang murid Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, yang dinamakan dengan Syarh Aqidah ath-Thahawiyah. Diantara mereka juga Abul Hasan al-Asy’ari di dalam kitabnya al-Ibanah ‘an Ushulid Diyaanah, yang di dalamnya terhimpun aqidah beliau yang terakhir. Termasuk pula tulisan tentang aqidah salafus shalih adalah apa yang ditulis oleh Ash-Shabuni dalam kitabnya Aqidah Salaf Ashabul hadits, dan juga diantaranya adalah Muwafiquddin Abu Qudamah al-Maqdisy al-Hanbali dalam kitabnya Lum’atul I’tiqod al-Haadi ila Sabilir Rosyad, dan selain mereka dari para ulama yang mulia. Semoga Allah membalas mereka semua dengan kebaikan[4]. Berkata al-Imam al-Mubajjal Ahmad bin Hanbal rahimahullahu di dalam Ushulus Sunnah, poin terakhir, “Dan barangsiapa yang meninggal dari ahli kiblat yang muwahid (mentauhidkan Alloh) maka dia disholati, dimohonkan ampunan atasnya, dan kami tidak meninggalkan sholat atasnya dikarenakan dosa-dosa yang dilakukannya baik besar maupun kecil dan urusannya adalah diserahkan kepada Alloh Azza wa Jalla” (lihat : Aqo’id A`immatis Salaf, penghimpun : Ahmad Fawwaz Zamroli, Darul Kutub al-‘Arobi, cet. I, 1415 H, Beirut, hal. 36-37), Beliau juga berkata di dalam as-Sunnah allati tufiya ‘anha Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pada poin ke-6 : “Dan mensholati siapa saja yang meninggal dari ahli kitab” (lihat : idem, hal, 38). Dan hal ini merupakan kesepakatan para ulama salaf.
[5]. Bukanlah maksud Syaikh di sini menyetujui pendapat mereka bahwa orang-orang yang disebut di pertanyaan pertama tadi seluruhnya adalah ahlul bid’ah. Namun syaikh di sini berusaha menunjukkan pengingkaran akan madzhab baru yang mengharamkan tarahum ini kepada muslim yang telah meninggal.


HAKIKAT BID’AH & KUFUR
Tanya Jawab Bersama :
MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAHU

Kunjungi juga: